KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang telah memberi nikmat iman dan islam. Dimana dengan nikmat tersebut kita bisa merasakan kebahagian, ketenangan batin yang belum tentu setiap orang mendapatkannya. Shalawat serta salam semoga tercurah limpah kepada Nabi Muhammad SAW. Beliau yang telah memberikan perubahan norma-norma dalam tatanan kehidupan. Yang akhirnya kita saat ini bisa merasakan indahnya islam. Semua ini berkat keteladanannya, keshalehannya dan lain-lain.
Makalah ini berjudul Sejarah Cabang-Cabang Ilmu Hadis . Yang di dalamnya membahas tentang pengertian Sejarah cabang-cabang ilmu hadis, macam-macam ilmu hadis. Penulis berharap apa-apa yang ada di dalam makalah ini bisa mudah dipahami dan dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari. Karena hal yang terpenting sesudah memahami suatu ilmu adalah mengamalkannya.
Tiada gading yang tak retak. Begitu pun dengan makalah ini. Kami menyadari masih banyak kesalahan yang terdapat pada penyusunan makalah. Oleh karena itu, kami berharap bimbingan dari bapak dosen untuk memperbaiki makalah ini guna lebih baik lagi. Terima kasih.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………...………………………………………………………..i
DAFTAR ISI………………….…………………………………………………………..ii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah..................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................1
BAB II : PEMBAHASAN
A. Pengertian Sejarah Cabang-Cabang Ilmu Hadis .............................3
1. Sejarah dan Cabang...............................................................3
2. Ilmu Hadis.............................................................................4
a. Ilmu Hadis Riwayah .........................................................5
b. Ilmu Hadis Dirayah ...........................................................6
B. Berbagai Macam Cabang Ilmu Hadis ..............................................8
1. Ilmu dan Kaidah Hadis Tentang Rawi dan Sanad.......................8
a. Ilmu Rijal al-Hadist .....................................................................8
b. Ilmu Tarikh al-Ruhwah………………………………………..10
c. Ilmu Jarh wa ta’dil.....................................................................12
2. Ilmu Kaidah Tentang Matan .....................................................12
a. Ilmu Gharib al-Hadist ...............................................................12
b. Ilmu Asbab Wurud hadist..........................................................14
c. Ilmu Nasikh wa al-Mansukh ....................................................15
3. Ilmu Kaidah Sanad dan Matan...................................................17
a. Ilmu ‘Ilal Hadist.........................................................................17
b Ilmu Tashif wa at-Tahrif ........................................................... 18
c. Ilmu Mukhtalif al-Hadis………………………………………19
C. Sejarah Cabang-Cabang Ilmu Hadist dan Perkembangannya .....20
BAB III : KESIMPULAN
Kesimpulan ............................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................24
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam penulisan makalah ini, penulis memiliki motivasi untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan sejarah cabang-cabang ilmu hadis. Karena dalam perkembangan ilmu hadis ternyata tidak hanya terdapat beberapa cabang ilmu hadis. Ada sekian banyak cabang hadis yang perlu diketahui oleh kita sebagai akademisi untuk memperluas khazanah keilmuan islam. Oleh karena itu, penulis merasa tertarik untuk membahas materi ini dalam sebuah makalah.
Sebenarnya ada banyak hal yang akan kita ketahui mengenai sejarah cabang-cabang ilmu hadis ini. Pertama, mengenai sejarah timbulnya cabang-cabang ilmu hadis. Kedua, faktor apa saja yang paling mempengaruhi dalam perkembangan cabang-cabang hadis ini. Ketiga, mengenai pengertian dari cabang-cabang ilmu hadis itu sendiri. Menurut hemat penulis, kurang lebih inilah yang mendasari rasa keingintahuan dalam masalah sejarah cabang-cabang hadis.
Penulis memiliki beberapa tujuan dalam penyusunan makalah ini. Diantaranya yaitu, ingin meningkatkan pemahaman dalam masalah hadis. Kemudian, penulis manaruh harapan yang besar kepada rekan-rekan mahasiswa agar bersama-sama melatih daya pikir dalam menghadapi suatu permasalahan. Karena hal ini akan sangat membantu sekali dalam peningkatan kualitas pemahaman akademik khususnya mengenai pembahasan yang ada pada makalah ini. Dan yang terakhir yaitu, penulis berharap dengan disusunnya makalah ini dapat memberikan sedikit pencerahan mengenai ketidaktahuan kita dalam hal sejarah cabang-cabang ilmu hadis ini. Sehingga segala sesuatu yang masih samara-samar dalam bayangan kita, akan lebih terasa jelas. Dan dari sinilah akan timbul suatu kenikmatan intelektual. Khususnya kenikmatan dalam melakukan proses untuk menjadi lebig baik dari sebelumnya.
B. Rumusan Masalah
1) Apa yang dimaksud dengan sejarah cabang-cabang ilmu hadis ?
2) Mengapa terdapat berbagai macam struktur ilmu hadis?
3) Bagaimana sejarah perkembangan cabang-cabang ilmu hadis tersebut?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sejarah Cabang-Cabang Ilmu Hadis
1. Sejarah dan cabang
Sebelum penulis membahas tentang sejarah cabang-cabang ilmu hadis secara keseluruhan, ada baiknya memahami dahulu apa yang dimaksud dengan sejarah dan cabang-cabang itu sendiri. Karena hal ini akan sangat membantu kita dalam memahami sejarah dan cabang-cabang dalam kaitannya dengan ilmu hadis. Penulis mencoba untuk memberikan sedikit penjelasan tentang ini. Sejarah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996: 891) adalah kejadian dan pristiwa yang benar-benar terjadi di masa lampau. Kemudian dalam (mus_1981 tripod.com) disebutkan bahwa istilah sejarah dalam Yunani yaitu histories yang mengandung makna penyelidikan dan pengkajian.
Arti cabang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996:162) adalah bagian batang kayu yang tumbuh dari pokok atau bahan. Sedangkan S. Wojowasito. S.S dan Poerwadaminta dalam Kamus Lengkap Inggeris- Indonesia dan Indonesia Inggeris (2007:59) menyebutkan bahwa cabang adalah department. Kemudian dalam buku kamus Oxford Learner’s Pocket Dictionary (2005:115) bahwa department adalah “one of several division of a government, business, shop, University, etc” yang artinya adalah salah satu bagian / divisi dari pemerintah, bisnis, tempat perbelanjaan, universitas dan lain-lain. Sedangkan Alex M A dalam Kamus Ilmiah Populernya (Tt:80) bahwa departemen adalah instansi yang dipimpin oleh mentri.
Jadi, menurut hemat penulis, setelah memaparkan berbagai pendapat di atas bahwa yang dimaksud dengan sejarah adalah hal-hal yang berkaitan dengan masa lalu dan benar-benar terjadi tanpa adanya rekayasa. Serta, pengkajian dan penelitian mengenai bukti-bukti dan fakta-fakta sejarah. Sedangkan cabang adalah bagian dari suatu yang inti / pokok sebagai perluasan suatu fungsi.
2. Ilmu hadis
Mudasir (2005:41) menyebutkan bahwa yang dimaksud ilmu hadis, mnurut ulama mutaqqaddiman adalah “ilmu pengetahuan yang membicarakan cara-cara persambungan hadis sampai kepada Rasulullah SAW dari segi hal ikhwal para perawinya, yang menyangkut kedhabitan dan keadilannyadan dari segi bersambung dan terputusnya sanad, dan sebagainya.”. Endang Soetari AD (2005:12) memberikan definisi tentang ilmu hadis, yaitu “llmu tentang ucapan, taqrir, gerak-gerik dan bentuk jasmaniah Rasulullah SAW beserta sanad-sanadnya, dan ilmu pengetahuan untuk membedakan keshahihannya, kehasanannnya dan kedha’ifannya , baik segi matan maupun sanadnya”. Dan dalam perkembangannya ilmu hadis ini menjadi semakin luas yaitu terbagi atas ilmu hadis riwayah dan ilmu hadis dirayah.
Hujair A H. Sanaky (mediabilhikmah.multipy.com: Reviu Hadis) menyatakan bahwa Ilmu Hadits adalah lmu pengetahuan tentang sabda, perbuatan, gerak-gerik dan bentuk jasmaniah Rasulullah SAW, beserta sanad-sanad dari ilmu pengetahuan untuk membedakan kesahihannya dan kedhaifannya dari pada lainnya, baik matan maupun sanadnya. Sedangkan dalam cybemq (www.cybermq.com) dinyatakan bahwa Hasbi ash-Shiddiqie sebagai tokoh hadis Indonesia telah memberikan definisi mengenai ilmu hadis. Menurutnya, ilmu hadis adalah ilmu yang berpautan dengan hadis Nabi SAW. Hal ini selain bertolak dari makna lugawi- (bahasa) juga mengisyaratkan bahwa ilmu-lmu yang bersangkut paut dengan hadis Nabi SAW itu banyak macam dan cabangnya. Berkaitan dengan cabang-cabang ilmu hadis, secara garis besar para ulama telah mengelompokkan ilmu-ilmu yang bersangkut paut dengan hadis Nabi SAW terbagi atas dua bagian besar yaitu ilmu hadis riwayah dan ilmu hadis dirayah.
Sedangkan penulis memiliki pendapat bahwa ilmu hadis adalah ilmu tentang hadis. Hal ini bisa kita buktikan bahwa objek dari ilmu hadis yaitu hadis, yang didalam ilmu ini terdapat banyak cara untuk mengetahui sejauh mana maqbul dan mardudnya suatu hadis.
a. Ilmu Hadis Riwayah
Endang Soetari AD (2005:13) menyatakan bahwa ilmu hadis riwayah adalah “ilmu untuk mengetahui cara-cara penukilan (penerimaan), pemeliharaan, pembukuan dan penyampaian hadis dari apa-apa yang dinisbathkan kepada Nabi Muhammad SAW berupa perkataan, perbuatan, tqrir dan lain sebagainya”. Kemudian beliau melanjutkan bahwa dalam praktiknya, ilmu hadis riwayah membahas tentang proses periwayatan hadis, yakni proses penerimaan hadis, pemeliharaan dalam hafalan, pengamalan dan tulisan-tulisan serta penyampainnya kepada orang lain baik secara lisan maupun tertulis. Periwayatan mengesrafetkan hadis yang diwurudkan Nabi Muhammad SAW kepada para sahabat, tabi’in dan generasi berikutnya hingga hadis tersebut terkoleksi dalam kitab-kitab hadis, lengkap berupa matan, rawi dan sanadnya.
Munzier Suprapta (2006: 24) menyatakan bahwa yang dimaksud ilmu riwayah adalah “ilmu pengetauan yang mempelajari hadis-hadis yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat maupun tingkah lakunya”. Kemudian dalam situs (entranne.wordpress.com: ensiklopedi hadis part3) disebutkan bahwa ilmu riwayah adalah bagian dari ilmu hadis yang mempelajari cara-cara penukilan, pemeliharaan dan penulisan atau pembukuan hadis ( segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW berupa perkataan, perbuatan dan ikrar). Sedangkan tujuannya adalah menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan dan terutama untuk memahami hadis-hadis Nabi SAW sebagai penjelas wahyu al-Qur’an. U’lama pelopor dalam ilmu ini ialah Muhammad bin Syihab az-Zuhri (51-124 H), seorang imam dan u’lama besar di Hedjaz dan syam (Suriah), yang tercatat sebagai orang pertama yang menghimpun hadis-hadis Nabi SAW atas perintah khalifah U’mar bin Abdul A’ziz ( Umar II, memerintah 99-102 H, 717-720 M).
Hujair AH. Sanaky (mediabilhikmah.multipy.com: Reviu Hadis) menyatakan bahwa Ilmu Hadits Riwayah : Ilmu pengetahuan untuk mengetahui cara-cara penukilan, pemeliharaan dan pendewanan apa-apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir maupun lain sebagainya. Obyek Ilmu Hadits Riwayah : bagaimana cara menerima, menyampaikan kepada orang dan memindahkan atau mendewankan dalam suatu Dewan Hadits. Dalam menyampaikan dan mendewankan hadits, baik mengenai matan maupun sanadnya. Faedah mempelajari ilmu ini : adalah untuk menghindari adanya kemungkinan salah kutip terhadap apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Tsuroya (http/:tsuroya.wordpress.com: Sejarah Perkembangan Hadis dan Cabang-cabangnya 2) menyatakan bahwa “ Ilmu al-Hadits Riwayatan yaitu ilmu yang mencakup transformasi segala apa yang disandarkan pada Nabi saw, baik berupa ungkapan, perbuatan, ketetapan, maupun hal-ihwalnya. Obyek kajiannya meliputi segala ungkapan, perbuatan, ketetapan, dan sifat-sifatnya dari sisi tranformasi dan penetapannya secara pasti dan detai”l. Faidah dan manfaatnya yaitu melestarikan sunnah Nabi saw dan menjaganya dari segala kesalahan dalam transformasi segala apa yang disandarkan pada Nabi saw.Kedudukannya termasuk ilmu yang paling agung dan mulia, dimana dengan ilmu ini kita bisa mengetahui segala ungkapan, perbuatan, ketetapan dan hal-ihwal Nabi saw. Orang pertama yang mengkodifikasi ilmu ini adalah Muhammad bin Muslim bin Ubaidah bin Abdullah bin Syihab al-Zuhri. Nama kuniahnya adalah Abu Bakar al-Faqih al-Hafidz yang merupakan orang yang disepakati akan kewibawaan dan ketelitiannya. Beliau terkenal dengan sebutan Ibnu Syihab al-Zuhri dan meninggal tahun 124/125 H. Kodifikasi secara resmi atas perintah Amir al-Mukminin Umar bin Abdul Azis.
b. Ilmu Hadis Dirayah
Endang Soetari AD (2005:13) bahwa definisi ilmu hadis dirayah adalah, “kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ikhwal sanad, matan, cara-cara penerimaan dan penyampaian , sifat perawi dan lain sebagainya”. Sedangkan definisi yang lain yaitu “ilmu untuk mengetaui hal ikhwal sanad dan matan dari segi diterima atau ditolak dan yang berkaian dengannya”. Dalam penjelasannya beliau menyebutkan bahwa ilmu hadis dirayah membicarakan kaidah tentang keadaan matan yang diriwayatkan, hal ikhwal perawi, baik perawi penyempai maupun rawi penerima, yang tercatat pada sanad serta keadaan sanadnya dalam keadaan bersambung atau tidak. Pembahasan matan, rawi dan sanad dengan mempergunakan kaidah-kaidah tersebut dapat mementukan nilai atau kualitas hadis tersebut, apakah diterima atau ditolak (maqbul atau mardud) untuk dijadikan hujah dan pedoman beramal dalam pelaksanaan syariat islam.
Munzier Suprapta (2006: 25) menyatakan bahwa Al-Tirmisi memberikan definisi tentang ilmu hadis dirayah, yaitu undang-undang atau kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan sanad dan matan, cara menerima dan meriwayatkan, sifat-sifat perawi dan lain-lain. Kemudian munzier pun menyebutkan defnisi yang lain, yaitu Ibnu al-Kafani mendifinisikan bahwa ilmu hadis dirayah adalah “ilmu pengetahuan untuk mengetahui hakikat periwayatan, syarat-syarat, macam-macam dan hokum-hukumnya serta untuk mengetahui keadaan para perawi, baik syarat-syaratnya, macam-macam hadis yang diriwayatkan dan segala ysng berkaitan dengannya”.
Munzier (2006:26) melanjutkan penjelasannya bahwa yang dimaksud hakikat periwayatan adalah penukilan hadis dan penyandarannya kepada sumber hadis atau sumber berita. Kemudian maksud dari syarat-syarat periwayatan adalah penerimaan perawi terhadap hadis yang akan diriwayatkan dengan bermacam-macam cara penerimaan, seperti melalui pendengaran (al-Sama’), pembacaan (al-Qira’ah), berwasiat (al-Washilah), pemberian izin dari perawi (al-I’jazah). Lalu yang dimaksud dengan macam-macam periwayatan adalah membicarakan sekitar bersambung dan terputusnya periwayatan. Kemudian hukum-hukum periwayatan adalah pembicaraan sekitar diterima atau ditolaknya suatu hadis. Lalu keadaan para perawi adalah pembicaraan sekitar keadilan, kecacatan para perawi, dan syarat-syarat mereka dalam menerima dan meriwayatkan hadis. Serta yang terakhir ialah macam-macam hadis yang diriwayatkan meliputi hadis-hadis yang dapat dihimpun pada kitab-kitab tashnif, kitab tasnid, kitab mu’jam.
Hujair AH Sanaky (mediabilhikah.multiply.com: Reviu Hadis) menyatakan “Ilmu Hadits Dirayah : disebut dengan ilmu Musthalahul Hadits - undang-undang (kaidah-kaidah) untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara-cara menerima dan menyampaikan al-Hadits, sifat-sifat rawi dan lain sebagainya. Obyek Ilmu Hadits Riwayah : meneliti kelakuan para rawi dan keadaan marwinya (sanad dan matannya). Menurut sebagian ulama, yang menjadi obyeknya ialah Rasulullah SAW sendiri dalam kedudukannya sebagai Rasul Allah. Faedahnya atau tujuan ilmu ini : untuk menetapkan maqbul (dapat diterima) atau mardudnya (tertolaknya) suatu hadits dan selanjutnya untuk diamalkannya yang maqbul dan ditinggalnya yang mardud”.
B. Berbagai Macam Cabang Ilmu Hadist
Pada perkembangan selanjutnya, para ulama menyusun dan merumuskan cabang-cabang ilmu hadis. Karena hal ini dirasa perlu untuk mengetahui sejauh mana suatu hadis dapat dikatakan maqbul (diterima) atau mardud (ditolak). Sehingga muncullah berbagai macam cabang ilmu hadis. Sebelum itu yang lebih dahulu muncul adalah ilmu Hadist riwayah dan ilmu hadist dirayah, dan setelah itu barulah cabang cabang ilmu hadist seperti : Ilmu Rijal Al-Hadist, Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta’dil, Ilmu Tarikh Al-Ruwah, Ilmu ‘Ilal Al-Hadist, Ilmu Al-Nasikh Wal Al-Mansukh, Ilmu Asbab Wurud , Gharib Al-Hadits, Ilmu At-Tashif Wa At-Tahrif dan Ilmu Mukhtalif Al-Hadist. Secara singkat cabang cabang ilmu hadist diatas akan diuraikan sebagai berikut :
1. Ilmu dan Kaidah Hadis Tentang Rawi dan Sanad
a. Ilmu Rijal Al-Hadist
Munzier suparta (2006:30) menyatakan Ilmu Rijal Al-Hadist adalah ilmu untuk mengetahui para perawi haidst dalam kapasitasnya sebagai perawi hadist.
Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir (1998:57) Ilmu Rijal Al-Hadist adalah ilmu yang membahas tentang para perawi hadist, baik dari sahabat, tabi’in, maupun dari angkatan sesudahnya.
Sedangkan muhadditsin, sebagaimana dikutip dalam buku Endang Soetari (1994:233) mentarifkan Ilmu Rijal Al-Hadist meliputi Ilmu Thabaqah dan Ilmu Tarikh Ar-Ruwah. Ilmu Thabaqah adalah ilmu yang membahas tentang kelompok orang orang yang berserikat dalam satu alat pengikat yang sama. Sedangkan Ilmu Tarikh Ar-Ruwah adalah ilmu yang membahas tentang biografi para perawi hadist. Adapun materi dari ilmu ini adalah :
a) Konsep tentang rawi dan thabaqah
b) Rincian thabaqah rawi
c) Biografi yang telah terbagi pada tiap thabaqah
Dari berbagai definisi diatas, pada dasarnya Ilmu Rijal Al-Hadist adalah ilmu yang membahas tentang para perawi hadist dalam memelihara dan menyampaikannya kepada orang lain dengan menyebutkan sumber-sumber pemberitaannya.
Kedudukan ilmu ini sangat penting dalam lapangan ilmu hadist, karena, sebagaimana diketahui bahwa objek kajian hadist, pada dasarnya ada dua hal yaitu matan dan sanad. Munzier Suparta (2006:30) menyatakan Ilmu Rijal Al-Hadist ini lahir bersama sama dengan periwayatan hadist dalam islam dan mengambil posisi khusus untuk mempelajari persolan-persoalan disekitar sanad.
Dengan ilmu ini kita dapat mengetahui keadaan para perawi yang menerima hadist dari Rasullah SAW, dan keadaan para perawi yang menerima hadist dari para sahabat dan seterusnya. Dan dengan ilmu ini kita juga dapat mengetahui sejarah ringkas para perawi hadist, mazhab yang dipegang oleh para perawi, dan keadaan para perawi dalam menerima hadist.
Kitab kitab yang disusun dalam ilmu ini beraneka ragam. Seperti halnya dikutip dalam buku Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir (1998:58) ada yang hanya menerangkan riwayat-riwayat ringkas para sahabat saja. Ada yang menerangkan riwayat-riwayat umum para perawi. Ada yang menerangkan para perawi yang dipercaya saja. Ada yang menerangkan riwayat para perawi yang lemah-lemah, atau para mudalis, atau para pemuat hadist maudu. Dan ada yang menerangkan sebab sebab dianggap cacat dan sebab sebab dipandang adil dengan menyebut kata kata yang dipahami untuk itu serta martabat perkataan. Seperti pada abad ke tujuh hijrah Izzudin Ibnu Atsir (630 H) mengumpulkan kitab-kitab yang telah disusun sebelum masanya dalam sebuah kitab besar yang bernama Usdul Gabah. Pada abad kesembilan hijrah, Al Hafidh Ibnu Hajar Al Asqolani menyusun kitabnya yang terkenal denagn nama Al Ishabah. Dalam kitab ini dikumpulkan al istiah dengan usdul gabah dan ditambah dengan yang tidak trdapat dalam kitab kitab tersebut. Kemudian kitab ini diringkas oleh As Suyuti dalam kitab Ainul Ishobah. Al bukhori dan Imam Muslim juga telah menulis kitab yang menerangkan nama-nama sahabat yang hanya meriwayatkan suatu hadist saja yang bernama Wuzdan.
b. Ilmu Jarh Wa At-Ta’dil
Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil, pada hakikatnya merupakan satu bagian dari Ilmu Rijal Al-Hadist, akan tetapi, karena bagian ini dipandang penting, maka ilmu ini dijadikan sebagai ilmu yang yang berdiri sendiri. Adapun beberapa pengertian dari Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil adalah sebagai berikut :
1. Muhammad Ahmad dan M.Mudzakir (1998:59). Ilmu yang menerangkan tentang kecacatan-kecacatan yang dihadapkan pada para perawi dan tentang penakdilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat kata-kata itu.
2. Munzier Suparta (2006:31) menyatakan Ilmu Al-jarh yang secara bahasa berarti luka, cela, atau cacat, adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari kecacatan para perawi, seperti pada keadilan dan kedhabitannya. Para ahli hadist mendefinisikan Al-Jarh dengan kecacatan pada para perawi hadist, disebabkan oleh suatu yang dapat merusak keadilan atau kedhabitan perawi. Sedangkan At-Ta’dil yang secara bahasa berarti menyamakan dan menurut istilah berarti lawan dari Al-Jarh yaitu pembersihan atau pensucian perawi dan ketetapan bahwa dia adil atau dhabit. Sementara ulama lain mendefinisikan Al-Jarh dan At-Ta’dil dalam satu definisi yaitu ilmu yang membahas tentang para perawi dari segi yang dapat menunjukan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka dengan ungkapan atau lapadz-lapadz tertentu.
Dari beberapa definisi diatas dapat diketahui bahwa ilmu ini digunakan untuk menetapkan apakah periwayatan seorang perawi itu dapat diterima atau ditolak sama sekali. Apabila seorang perawi “dijarh” oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak, dan sebaliknya apabila dipuji, maka hadistnya dapat diterima selama syarat-syarat yang lain dipenuhi.
Munzier Suparta (2006:32) menyatakan kecacatan rawi itu bisa diketahui melalui perbuatan-perbuatan yang dilakukannya, biasanya dikatagorikan kedalam lingkup perbuatan : Bid’ah yakni melakukan perbuatan tercela atau diluar ketentuan syariah; Mukhalafah, yakni berbeda dengan periwayatan dari rawi yang lebih tsiqah; Qhalath, yakni banyak melakukan kekeliruan dalam meriwayatkan hadist; Jahalat al-hal, yakni tidak diketahui identitasnya secara jelas dan lengkap; dan Da’wat Al-Inqitha, yakni diduga penyandaran (sanad)-nya tidak bersambung.
Adapun orang-orang yang melakukan Tajrih dan Ta’dil harus memenuhi syarat sebagai berikut : Berilmu pengetahuan, Taqwa Wara, Jujur, Menjauhi sifat fanatik golongan, dan Mengetahui ruang lingkup Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil.
Kitab-kitab yang disusun dalam ilmu ini berbeda beda, sebagian ada yang kecil, hanya terdiri dari satu jilid dan hanya mencakup beberapa ratus orang rawi. Sebagian yang lain menyusunnya menjadi beberapa jilid besar yang mencakup antara sepuluh sampai dua puluh ribu Rijalus Sanad. Disamping itu sistematis pembahasannya juga berbeda beda. Ada sebagian yang menulis rawi-rawi yang tsiqah saja dan ada juga yang mengumpulkan keduanya. Fathur Rahman (1987:279) menyebutkan kitab-kitab itu, antara lain :
1. Ma’rifatur-rijal, karya Yahya Ibnu Ma’in.
2. Ad-Dluafa, karya Imam Muhammad Bin Ismail Al Bukhari (194 – 252 H)
3. At-tsiqat, karya Abu Hatim Bin Hibban Al-Busty (304 H)
4. Al-jarhu wat tadil, karya Abdur Rahman Bin Abi Hatim Ar Razy (240 – 326 H)
5. Mizanul itidal, karya Imam Syamsudin Muhammad Adz Dzahaby (673 – 748 H)
6. Lisanul mizan, karya Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani (773 – 852 H)
c. Ilmu Tarikh Ar-Ruwah
Ilmu Tarikh Ar-Ruwah merupakan masih bagian dari Ilmu Rijal Al-hadist. Ilmu ini mengkhususkan pembahasannya secara mendalam pada sudut kesejarahan dari orang-orang yang terlibat dalam periwayatan.
Munzier Suparta (2006:34) menyatakan Ilmu Tarikh Ar-ruwah adalah ilmu untuk mengetahui para perawi hadist yang berkaitan dengan usaha periwayatn mereka terhadap hadist. Mengenai hubungan antara ilmu ini dengan ilmu Thabaqah Ar-Ruwah, sebagaimana dikutip masih dari buku yang sama, bahwa terdapat berbagai perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Ada ulama yang membedakan secara khusus, tetapi ada juga yang mempersamakannya. Menurut As-Suyuti, antara Ilmu Thabaqat Ar-ruwah dengan Ilmu Tarikh Ar-ruwah adalah sama saja dengan antara umum dan khusus, keduanya bersatu dalam pengertian yang berkaitan dengan para perawi, tetapi Ilmu Tarikh Ar-Ruwah menyendiri dalam hubungannya dengan kejadian-kejadian yang baru. Menurut Al-Shakawi, bahwa ulama mutakhirin membedakan antara kedua disiplin ilmu tersebut. Menurut mereka bahwa Ilmu Tarikh Ar-Ruwah, melalui eksistensinya memperhatikan hal ihwal perawi, dan melalui sifatnya memperhatikan kelahiran dan wafatnya mereka.
Jadi dengan ilmu ini dapat diketahui keadaan dan identitas para perawi, seperti kelahirannya, wafatnya, guru-gurunya, masa/waktu mereka mendengar hadist dari gurunya, siapa yang meriwayatkan hadist darinya, tempat tinggal mereka, tempat mereka mengadakan lawatan, dan lain sebagainya. Dan ilmu ini juga merupakan senjata yang ampuh untuk mengetahui keadaan rawi yang sebenarnya, terutama untuk membongkar kebohongan para perawi.
2. Ilmu Kaidah Tentang Matan
a. Gharib Al-Hadits
Menurut Endang Soetari (2005:210), Ilmu Gharib al-Hadist adalah:
“Ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan Hadist yang sukar diketahui maknanyadan yang kurang terpakai oleh umum’.
Yang dibahas oleh ilmu ini adalah lafadh yang musykil dan susunan kalimat yang sukar dipahami, tujuannya untuk menghindarkan penafsiran menduga-duga. Pada masa tabi’in dan abad pertama hijriyah, bahasa arab yang tinggi mulai tidak dipahami oleh umum, hanya diketahui secara terbatas. Maka orang yang ahli mengumpulkan kata-kata yang tidak dapat dipahami oleh umumtersebut dan kata-kata yang kurang terpakai dalam pergaulan sehari-hari.
Endang Soetari juga menyebutkan beberapa upaya para ulama Muhaditsin untuk menafsirkan keghariban matan Hadits, antara lain:
1) Mencari dan menelaah hadits yang sanadnya berlainan dengan yang bermatan gharib
2) Memperhatikan penjelasan dari sahabat yang meriwayatkan Hadits atau shahabat lain yang tidak meriwayatkan,
3) Memperhatikan penjelasan dari rawi selain shahabat.
Di sisi lain, dalam buku Ilmu Hadis karya Mudasir (2005:57), menurut Ibnu Shalah, yang dimaksud dengan Gharib al-hadis ialah:
“Ilmu untuk mengetahui dan menerangkan makna yang terdapat pada lafal-lafal hadis yang jauh dan sulit dipahami karena (lafal-lafal tersebu) jarang digunakan.”
Mudasir menyatakan bahwa bahwa ilmu ini muncul atas usaha para ulama setelah Rasulullah SAW. Wafat ketika banyaknya bangsa-bangsa yang bukan arab memeluk Islam serta banyaknya orang yang kurang memahami istilah atau lafal-lafal tertentu yang gharib atau sukar dipahami.
Imam Al-Nawawi menyebutkan dalam bukunya (2001:116) bahwa Hadis gharib adalah Hadis yang diriwayatkan dari al-Zuhri atau rawi yang selevel dengan al-Zuhri dimana Hadis-hadisnya itu dikumpulkan oleh seorang rawi. Hadis gharib terbagi ke dalam dua begian, shahih dan tidak shahih. Dalam kategori tidak shahih, hadis gharib bisa berupa Hadis hasan juga bisa dla’if. Namun umumnya Hadis gharib tidak shahih. Hdis ini juga terbagi ke dalam dua klasifikasi berdasarkan pada pada kualitas sanad dn matan Hadis tersebut. Pertama , Hadis gharib baik dari segi matannya maupun sanadnya. Ini seperti pada Hadis yang hanya diriwayatkan oleh seorang rawi. Kedua, Hadis yang kegharibannya terdapat pada sanadnya saja, seperti pada Hadis yang matannya diriwayatkan oleh sekelompok sahabat, di mana salah seorang di antara mereka meriwayatkannya secara tunggal Hadis itu. Dalam kaitan ini, Ai-Titmidzi biasanya menggunakan teknis gharibun min badza al-wajh (gharib berdasar tinjauan ini. Namun sampai ssat ini tidak ditemukan Hadis gharib dalam segi matannya saja, tapi sanadnya tidak gharib. Kecuali jika ada Hadis tunggal yang populer di mana Hadist itu diriwayatkan oleh banyak rawi, maka hadis itu disebut Hadis gharib yang masyhur dan juga gharib secara matannya saja tidak beserta sanadnya, jika dilihat dari salah satu dari dua jalurnya, seperti Hadis Innama al-a’malu bi al-niyyat.
Definisi lain diungkapkan oleh Wahyudin Darmalaksana (2004:39), bahwa Hadits Gharib yaitu hadits yang terdapat penyendirian rawi dalam sanadnya di mana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi, daik karena penyendirian sifat atau keadaan yang berbeda dengan sifat dan keadaan rawi lainnya, ataupun juga karena penyendirian personalia itu sendiri. Berdasarkan pada bentuk penyendirian tersebut, kemudian hadits gharib terbagi pada dua macam: pertama, Hadits Gharib Mutlaq yakni hadits yang didalamnya terdapat penyendirian sanad dalam jumlah personalianya. Kedua, Hadis Gharib Nisbi yakni Hadis yang terdapat penyendirian dalam dalam satu sifat atau keadaan tertentu.
b. Ilmu Asbab Wurud Al-Hadits
Menurut ahli bahasa, asbab diartikan dengan al-habl (tali), yang menurut lisan Al-Arab berarti saluran, yang artinya adalah segala sesuatu yang menghubungkan satu benda dengan benda yang lainnya. Adapun arti asbab menurut istilah adalah Segala sesuatu yang mengantar pada tujuan.
Kata wurud (sampai, muncul) berarti :
“Air yang memancar atau yang mengalir.”
Dalam pengertian yang lebih luas, As-Suyuti menyebutkan pengertian asbab wurud al-hadist, yaitu Sesuatu yang membatasi arti suatu hadist, baik berkaitan dengan arti umum atau khusus, mutlak atau muqqayyad, dinasakhkan, dan seterunya, atau suatu arti yang dimaksud oleh sebuah hadist saat kemunculannya.”
Dari pengertian asbab wurud al-hadist seperti di atas, dapat dibawa pada pengertian ilmu asbab wurud al-hadist, yakni suatu ilmu yang membicarakan sebab-sebab Nabi Muhammad SAW. Menuturkan sabdanya dan saat beliau menuturkannya, seperti sabda RasulullahSAW tentang menyucikan air laut, yaitu, “ Laut itu suci airnya dan halal bangkainya”. Hadist ini dituturkan oleh Rasulullah SAW ketika seorang sahabat sedang berada di tengah laut mendapatkan kesulitan berwudhu.
Menurut As-Suyuti, urgensi asbab wurud terhadap hadist sebagai salah satu jalan untuk memahami kandungan hadist, sama halnya dengan urgensi asbab nuzul Al-Qur’an terhadap Al-Qur’an. Ini terlihat dari beberapa faedahnya antara lain dapat men-taksis arti yang umum, membatasi arti yang mutlak,menunjukkan perincian terhadap yang mujmal, menjelaskan kemusykilan, dan menunjukkan illat suatu hukum.Maka dengan memahami asbab wurud al-hadist ini, makna yang dimaksud atau dikandung oleh suatu hadist dapat dipahami dengan mudah. Namun, tidak semua hadist mempunyai asbab al-wurud, seperti halnya tidak semua ayat Al-Qur’an memiliki asbab an-nuzul-nya.
Sedangkan menurut Endang Soetari (2005:212), Ta’rif ilmu Asbab Wurud al-Hadist
“Ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi SAW menuturkan sabdanya dan masa-masa Nabi menuturkan”.
Ilmu ini titik berat pembahasannya pada latar belakang dan sebab lahirnya Hadist. Manfaat mengetahui asbab al-wurud Hadist antara lain untuk membantu memahami dan menafsirkan Hadits serta mengetahui hikmah-hikmah yang berkaitan dengan wurudnya hadist tersebut, atau mengetahui kekhususan konteks makna hadist. Perintis ilmu asbab Wurud al-Hadits adalah Abu Hamid ibn Kaznah al-Jubairi, dan Abu Hafash ‘Umar ibn Muhammad ibn Raja’ al-‘Ukbari (339 H). Kitab yang terkenal adalah kitab al-nayan wa al-Ta’rif, susunan Ibrahim Ibn Muhammad al-Husaini (1120 H).
c. Ilmu An-Nasikh Wa Al-mansukh
Menurut Drs. H. Mudasir dalam bukunya Ilmu Hadist (2005:53), Yang dimaksud dengan ilmu an-naskh wa almansukh disini terbatas sekitar nasikh dan mansukh pada hadist. Beliau menyebutkan bahwa kata An-Nasakh menurut bahasa mempunyai dua pengertian, al-izzlah (menghilangkan), seperti (matahari menghilangkan bayangan) dan an-naql (menyalin), seperti (saya menyalin kitab) yang berarti saya menyalin isi suatu kitab untuk dipindahkan pada kitab lain. Pengertian An-Nasakh menurut bahasa, dapat kita jumpai Dalam Al-Qur’an, antara lain dalam firman Allah SWT. Surat Al-Baqarah ayat 106:
“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidaklah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah : 106)
Adapun An-Nasakh menurut Istilah, sebagaimana pendapat ulama ushul adalah:
“Syari’ mengangkat (membatalkan) suatu hukum syara’ dengan menggunakan dalil syar’i yang datang kemudian.”
Drs. H. Mudasir juga menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ilmu nasikh wa al-mansukh dalam hadist adalah Ilmu yang membahas tentang hadist-hadist yang berlawanan yang tidak dapat dipertemukan dengan ketetapan bahwa yang datang terdahulu disebut mansukh dan yang datang kemudian dinamakan nasikh.”
Sedangkan menurut Endang Soetari dalam bukunya Ilmu Hadist (2005:213) menyebutkan bahwa Ta’rif ilmu Nasikh wa al-Mansukh: adalah:
“Ilmu yang menerangkan Hadist-hadiat yang sudah dimansukhkan dan yang menasikhkannya.”
Beliau menyatakan bahwa ilmu ini bermanfaat untuk pengamalan Hadis bila ada dua Hadis Maqbul yang tanakud yang tidak dapat dikompromikan atau dijama’. Bila dapat dikompromikan, hanya sampai pada tingkat mukhtalif al-hadis, kedua hadis maqbul tersebut dapat diamalkan. Bila tidak bisa dijama’ (dikompromikan, maka Hadist yang tanakud tadi ditarjih atau dinasakh. Bila diketahui mana diantara kedua Hadist yang diwurudkan duluan dan yang diwurudkan kemudian, maka yang wurud kemudian (terakhir) itulah yang diamalkan. Sedangkan yang duluan tidak diamalkan. Yang belakangan disebut nasikh, yang duluan disebut mansukh. Kaidah yang berkaitan dengan nasakh, antara lain berupa cara mengetaui nasakh, yakni penjelasan dari Rasulullah SAW sendiri, keterangan sahabat dan tarikh datangnya matan yang dimaksud.
Menurut Imam Al-Nawawi dalam bukunya Dasar-Dasar Ilmu Hadist (2001:119), pembahasan ini merupakan salah satu bidang penting dan dinilai sangat rumit. Pendapat yang dapat dipilih menyatakan bahwa maksud dari nasakh (perubahan) adalah bahwa Allah SWT atau Nabi Muhammad sebagai syari’ (yang menetapkan hukum syari’ah) mengangkat keberlakuan suatu hukum yang telah lebih dahulu disyari’atkan dengan hukum yang belakangan diberlakukan. Diantara bentuk nasakh adalah perubahan yang diketahui dari penjelasan Rasulullah, seperti dalam Hadist Kuntu nahaitukum ‘an ziyarat al0qubur fuzuruha (Aku dulu melarang kalian berziarah kubur, tapi sekarang berziarahlah).
3. Ilmu Kaidah Tentang Sanad dan Matan
a.Ilmu ‘Ilal Al-Hadist
Munzier Suparta (2006:35) menyatakan kata ‘Ilal adalah bentuk jama dari kata Al-‘Illah, yang menurut bahasa berarti penyakit atau sakit. Menurut Muhadditsin, istilah ‘Illah berarti sebab yang tersembunyi atau samar-samar yang berakibat tercemarnya hadist. Adapun yang dimaksud dengan Ilmu Ilal Al-Hadist menurut Muhadditsin adalah ilmu yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi, yang dapat mencacatkan keshahihan hadist, seperti mengatakan muttashil terhadap hadist yang munqathi, menyebutkan marfu terhadap hadist yang mauquf, memasukan hadist kedalam hadist lain, dan hal-hal yang seperti itu.
Beberapa buku lainnya juga, seperti Muhammad Ahmad dan M.Mudzakir (1998:61) dan Endang Soetari menyatakan hal yang sama mengenai definisi Ilmu ‘Ilal Al-Hadist.
Jadi secara singkat, Ilmu Ilal Al-Hadist adalah ilmu yang membahas tentang suatu illat yang dapat mencacatkan kesahihan hadist.
Endang Soetari, menyatakan illat yang terjadi pada sanad dan terjadi pula pada matan, yaitu :
a) Lahir sanad shahih padahal terdapat rawi yang tidak mendengar sendiri dari guru.
b) Hadist Mursal dimusnadkan lahirnya.
c) Hadist mahfuzh dari shahabat tertentu diriwayatkan dari sahabat lain yang berbeda tempat tinggalnya.
d) Hadist Mahfuzh dari sahabat tertentu diriwayatkan dengan paham tabi’in.
e) Meriwayatkan dengan an-‘anah suatu hadist yang sanadnya gugur seorang rawi atau beberapa orang.
f) Berlainan sanadnya dengan sanad yang lebih kuat.
g) Berlainan nama gurunya yang memberikan hadist dengan nama guru rawi-rawi tsiqah, atau nama guru tidak disebutkan dengan jelas.
h) Meriwayatkan hadist yang tidak pernah didengar dari gurunya, walaupun gurunya itu benar-benar guru yang pernah memberikan beberapa hadist padanya.
i) Meriwayatkan hadist dengan sanad lain, secara waham terhadap hadist yang sebenarnya, hanya mempunyai satu sanad.
j) Memauqufkan hadist yang maufu.
Adapun beberapa ulama yang menulis mengenai ilmu ini adalah Ibn Al-Madini (234 H), Ibn Abi Hatim (327 H) yakni kitab Ilal Al-Hadist. Imam Muslim (261 H), Al-Daruquthni (375 H), dan Muhammad Ibn Abd Allah Al-Hakim.
b. Ilmu At-Tashif Wa At-Tahrif
Menurut Mudasir (2005:57), Ilmu At-tashif wa at-tahrif adalah ilmu yang berusaha menerangkan hadis-hadis yang sudah diubah titik atau syakalnya (musahhaf) dan bentuknya (muharraf). Al-Hafizh Ibnu Hajar membagi ilmu ini menjadi dua bagian, yaitu ilmu at-tashif dan ilmu at-tahrif. Sebaliknya Ibnu Shalah dan pengikutnya menggabungkan kedua ilmu ini menjadi satu ilmu.Menurutnya, ilmu ini merupakan satu disiplin iilmu bernilai tinggi yang dapat membangkitkan semangat para ahli hafalan (huffaz). Hal ini karena hafalan para ulama terkadang terjadi kesalahan bacaan dan pendengarannya yang diterima dari orang lain.
Sedangkan menurut Endang Soetari (2005:216) Ilmu Tashhif wa al-Tahrif adalah:
“Ilmu yang menerangkan Hadis-hadis yang sudah diubah titiknya (musahhaf) dan bentuknya (muharraf)”. Diantara kitab ilmu ini adalah kitab: al-Tashhif wa al-Tahrif, susunan al-Daruquthni (358 H) dan Abu Ahmad al-Askari (283 H).
Sedangkan menurut Imam Al-Nawawi (2001:120), kesalahan tulis (tashhif) bisa saja terjadi pada kata atau lafadh dalam sebuah Hadis atau penglihatan rawi, baik dalam segi sanad maupun matannya. Diantara kesalahan tulis pada sanad adalah penulisan al-Awwam bin Murajim (dengan ra’ dan jim pada kata Murajim) ditulis secara salah oleh Ibn al-Ma’in dengan za’ dan ha’ (Muzahim). Dan diantara kesalahan tulis pada matan adalah Hadis Zaid bin Tsabit berikut ini: Anna Rasulallah ihtajara fi al-masjid (Bahwa Rasulullah membuat kamar di salah satu ruangan masjid dari tikar atau yang sejenisnya di mana tempat itu dipergunakan untuk shalat). Ibnu Lahi’ah menulis secara salah kata ihtajara dengan menggantikannya menjadi ihtajama (berbekam).
Menurutnya, kadang kesalahan tulis terjadi karena salah dengar, seperti Hadis dari Ashim al-Ahwal. Kadang pula kesalahan terjadi pada makna Hadis, seperti ungkapan Muhammad bin al-Mutsanna berikut ini, Nahnu qaumun lana syarafun, nahnu min ‘anazah shalla ilaina Rasulullah (Kami adalah sekelompok orang yang memiliki kehormatan. Kami lahir dari kabilah Anazah di mana Rasulullah pernah shalat di kabilah kami). Kata ‘anazah di sini dipahami secara salah oleh Muhammad bin al-Mutsanna. Padahal yang dimaksudkan dari Hadis bahwa Rasulullah shalat di depannya diberi tanda dengan tongkat. Bahkan ada orabg arab pedesaan yang salah memahami ‘anazah. Ia mengira bahwa kata itu adalah ‘anzah (dengan nun), yang berartri kambibg. Ia pun akhirnya, karena salah memahami makna Hadis yang dimaksud, shalat dengan disertai kambing kecil.
c. Ilmu Mukhtalif Al-Hadis
Mudasir (2005:58) mendefinisikan ilmu mukhtalif al-hadis sebagai ilmu yang membahas tentang hadis-hadis yang menurut lahirnya saling bertentangan atau berlawanan agar pertentangan tersebut dapat dihilangkan atau dikompromikan antara keduanyasebagaimanamembahas hadis-hadis yang sulit dipahami isiatau kandungannya, dengan menghilangkan kemusykilan atau kesulitannya serta menjelaskan hakikatnya.
Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa dengan menguasai ilmu mukhtalif al-hadis, maka hadis-hadis yang tampaknya bertentangan dapat diatasi dengan menghilangkan pertentangan itu sendiri. Begitu juga kemusykilan yang terlihat dalam suatu hadis dapat dihilangkan dan ditemukan hakikat dari kandungan hadis tersebut.
Sebagian ulama menyamakan istilah ilmu mukhtalif al-hadis dengan ilmu musykil al-hadis, ilmu takwil al-hadis, ilmu talfiq al-hadis, dan ilmu ikhtilaf al-hadis. Akan tetapi, yang dimaksudkan oleh istilah-istilah di atas memiliki arti yang sama.
Imam Al-Nawawi (2001:121) menyebutkan bahwa maksud dari Mukhtalaf al-Hadis adalah adanya dua Hadis yang bertentangan maknanya secara eksplisit. Tugas seorang ahli Hadis dalam masalah ini adalah menggabungkan dua Hadis yang bertentangan itu, atau mentarjih salah satunya. Hanya para imam yang mempunyai penguasaan mendalam pada bidang Hadis dan fikih, di samping para ahli ushul fikih yang memiliki kapasitas yang memadai dalam bidang semantik.
Hadis mukhtalaf terbagi ke dalam dua bagian. Pertama, pertentangan yang memungkinkan untuk menggabungkan maksud dari dua hadis itu. Setelah menjadi jelas, bagian yang telah digabungkan itu wajib untuk diamalkan. Kedua, pertentangan yang memungkinkan untuk digabungkan dengan satu alasan. Karenanya, jika kita mengetahui salah satu dari kedua hadis itu menjadi penasikh, maka kita dahulukan Hadis penasih itu. Jika tidak, kita mengamalkan Hadis yang diunggulkan (rajih), seperti mentarjih karakteristik dan jumlah para rawi yang mencapai sekitar lima puluh jalur.
C. Sejarah Cabang-Cabang Ilmu Hadis dan Perkembangannya
Di dalam situs (belajarislam.com: Ringkasan Sejarah Munculnya Ilmu Musthalah Hadits dan Perkembangannya ) dijelaskan bahwa orang yang melakukan kajian secara mendalam mendapati bahwa dasar-dasar dan pokok-pokok penting bagi ilmu riwayat dan penyampaian berita dijumpai di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti.” (QS. Al-Hujurat: 6)
Sedangkan di dalam sunnah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Allah mencerahkan wajah seseorang yang mendengar dari kami sesuatu (berita, yaitu hadits), lalu ia menyampaikan berita itu sebagaimana yang ia dengar. Dan mungkin saja orang yang menerima berita itu lebih paham dari orang yang mendengarnya.” (HR. At-Tirmidzi).
Dalam penjelasannya (belajarislam.com: Ringkasan Sejarah Munculnya Ilmu Musthalah Hadits dan Perkembangannya ) diterangkan bahwa pada ayat dan hadits yang mulia ini terdapat prinsip yang tegas dalam mengambil suatu berita dan tata cara menerimanya, dengan cara menyeleksi, mencermati, dan mendalaminya sebelum menyampaikannya kepada orang lain. Dalam upaya melaksanakan perintah Allah Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, para sahabat telah menetapkan hal-hal yang menyangkut penyampaian suatu berita dan penerimaannya, terutama jika mereka meragukan kejujuran si pembawa berita. Berdasarkan hal itu, tampak nilai dan pembahasan mengenai isnad dalam menerima dan menolak suatu berita. Di dalam pendahuluan kitab Shahih Muslim, dituturkan dari Ibnu Sirin, “Dikatakan, pada awalnya mereka tidak pernah menanyakan tentang isnad, namun setelah terjadi peristiwa fitnah maka mereka berkata, ‘Sebutkanlah kepada kami orang-orang yang meriwayatkan hadits kepadamu.’ Apabila orang-orang yang meriwayatkan hadits itu adalah ahlu sunnah, maka mereka ambil haditsnya. Jika orang-orang yang meriwayatkan hadits itu adalah ahli bid’ah, maka mereka tidak mengambilnya.”
Dengan berpijak pada hal yang di atas (www.ikhwan-interaktif.com: Sekilas Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits ), maka suatu berita tidak bisa diterima kecuali setelah diketahui sanadnya. Karena itu muncullah ilmu jarh wa ta’dil, ilmu mengenai ucapan para perawi, cara untuk mengetahui bersambung (muttashil) atau terputus (munqathi’)-nya sanad, mengetahui cacat-cacat yang tersembunyi. Muncul pula ucapan-ucapan (sebagai tambahan dari hadits) sebagian perawi meskipun sangat sedikit karena masih sedikitnya para perawi yang tercela pada masa-masa awal. Kemudian para ulama dalam bidang itu semakin banyak, hingga muncul berbagai pembahasan di dalam banyak cabang ilmu yang terkait dengan hadits, baik dari aspek ke-dlabithan-nya, tata cara menerima dan menyampaikannya, pengetahuan tentang hadits-hadits yang nasikh (menghapus) dari hadits-hadits yang di-mansukh (dihapus), pengetahuan tentang hadits-hadits yang gharib (asing/menyendiri), dan lain-lain. Semua itu masih disampaikan ulama secara lisan.
Dalam pandangan penulis, masalah yang dihadapi ilmu ini semakin berkembang . Lama kelamaan ilmu hadits ini mulai ditulis dan dibukukan, akan tetapi masih terserak diberbagai tempat di dalam kitab-kitab lain yang bercampur dengan ilmu-ilmu lain, seperti ilmu ushul, fiqh, dan ilmu hadits. Contohnya ilmu Ar-Risalah dan Al-Umm Imam Syafi’i. Akhirnya, ilmu-ilmu itu semakin matang, mencapai puncaknya dan memiliki istilah tersendiri yang terpisah dengan ilmu-ilmu lainnya. Ini terjadi pada abad keempat Hijriah. Para ulama menyusun ilmu musthalah dalam kitab tersendiri. Orang yang pertama menyusun kitab dalam bidang ini adalah Qadli Abu Muhammad Hasan bin Abdurrahman bin Khalad Ar-Ramahurmuzi (wafat 360 H.), yaitu kitab Al-Muhaddits Al-Fashil Baina Ar-Rawi wa Al-Wa’i.
BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan
Dalam penjelasan tentang sejarah cabang-cabang hadis ini terdapat beberapa poin penting yang akan kami jadikan sebagai kesimpulan. Diantaranya yaitu:
Pembahasan sejarah cabang-cabang ilmu hadis ini sudah dimulai sejak zaman para sahabat yang pada waktu itu belum begitu berkembang. Akhirnya, untuk mengetahui sejauh mana suatu hadis dapat diterima atau tidak, para ulama merumuskan dan menyusun ilmu hadis yang pada akhirnya berkembang menjadi berbagai cabang ilmu hadis.
Hal-hal yang menyebabkan munculnya berbagai cabang ilmu hadis diantaranya yaitu: para ulama tidak ingin hadis-hadis Rasulullah SAW dicampuri dengan berbagai penyimpangan, mereka mencoba untuk merumuskan suatu ilmu yang dapat menunjang keutuhan suatu hadis. Karena jika hadis yang dipakai tidak diketahui secara jelas apakah diterima atau ditolak, maka dikhawatirkan nilai-nilai ajaran agama yang seharusnya menjunjung tinggi kebenaran akan menjadi pudar.
Suatu berita tidak bisa diterima kecuali setelah diketahui sanadnya. Karena itu, dikembangkanlah ilmu yang bernama jarh wa ta’dhil. Begitu pun dengan ilmu tentang sanad dan matan. Semuanya itu merupakan perkembangan ilmu hadis yang berkembang menjadi berbagai macam cabang-cabang ilmu hadist.
DAFTAR PUSTAKA
Alex MA. Kamus Ilmiah Populer. Alfa. Surabaya . Tt.
Anonimous. Ringkasan Sejarah Munculnya Ilmu Musthalah Hadits & Perkembangannya http://belajarislam.com/index.php? option=com_content &view =article&id
A.S Hornby, . Oxford Learner’s Pocket Dictionary. Oxford University Press: 2005
E. St. Harahap. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta: 1996.
Endang Soetari AD. Ilmu Hadits Kajian Riwayah dan Dirayah.Mimbar Pustaka. Bandung : 2005
Entran.. Ensiklopedi Hadist Part 3. http:// entranne.wordpress.com
HujairAH. Sanaky. Reviu Hadits. http://mediabilhikmah. multiply. Com /journal/item/56
Ikhwan. Sejarah perkembangan Hadits dan cabang-cabangnya . www.ikhwan- interaktif.com/islam/cetak
Miftah Faridh. UlumulHadits. http://www.cybermq.com/index. hp?pustaka.
Muhibbin Syah, dkk.. Kaidah dan Pelatihan Bahasa Indonesia. Pusbinsa. UIN Sunan Gunung Djati BANDUNG: 2007.
Muslim. Definisi Sejarah .http:// mus_1981.tripod.com
Mudasir. Ilmu Hadis. Pustaka Setia. Bandung : 2005
Muhammad Ahmad & M. Mudzakir. Ilmu Hadis. Pustaka Setia. Bandung : 2000.
Munzier Suprapta. Ilmu Hadis. Grafindo Persada. Jakarta : 2006.
Rahman & Fatchur. Ikhtisar Musthalahul Hadis. Bandung : 1985.
S, Wojowasito, W S S & Poerwadaminta. Kamus Lengkap Inggeris-Indonesia , Indonesia-Inggris. Hasta. Bandung : 2007.
Tsuroyya.Sejarah Perkembangan dan Cabang-CabangIlmuHadits . http: //tsuroyya.wordpress.com/2008/03/19/
Wahyudin Darmalaksana. Hadis Di mata Orientalis. Benang Merah Press. Bandung : 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar