Kamis, 31 Maret 2011

MENGENAL HADITS, SUNNAH, KHABAR, ATSAR, DAN STRUKTURNYA (SANAD, MATAN, RAWI)


            Pada hakekatnya umat Islam di dunia ini sama dengan umat agama lain. Kesamaan yang dimaksud dalam hal ini adalah sama-sama memiliki kitab sebagai pedomannya. Jika umat kristen memiliki kitab Injil sebagai pedomannya, umat Hindu memiliki kitab Trimurti, dan umat Budha yang memiliki kitab Weda sebagai pegangan hidupnya maka umat islam memilki Kitab Al-Qur’an Al-Karim sebagai pedoman hidupnya. Kitab Al-Qur’an ini adalah mukjizat yang diberikan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW yang di dalamnya terkandung nilai-nilai kebenaran, ketetapan yang mutlak mengenai agama islam. Namun ada pembahasan yang terdapat dalam Al-qur’an yang masih bersifat global. Oleh karena itu Munculah Al-Hadits yang fungsinya menyempurnakan dan menjelaskan kitab-kitab terdahulu seperti kitab Taurat, Zabur, Injil dan termasuk juga Al-Qur’an.
            Akan tetapi banyak orang tanpa terkecuali para ulama yang memperdebatkan antara Al-Hadits yang identik dengan As-Sunnah. Apakah kedua hal itu sama maksudnya? Tetapi hanya berbeda istilah dan cara orang menafsirkannya? Ataukah antara As-sunnah dan Al-Hadits, keduanya benar-benar memiliki maksud dan pengertian yang berbeda?
            Oleh karena hal itu kami akan coba memaparkan dan memberikan penjelasan tentang apa itu yang dimaksud dengan Al-Hadist, As-Sunnah, Khabar, Atsar dan hal-hal yang berkaitan dengan As-Sunnah ditinjau dari segi makna maupun secara strukturnya.
            Namun pembahasan mengenai Al-Hadits pada makalah ini janganlah para pembaca menjadikan makalah ini sebagai acuan yang mutlak dan pasti akan kebenarannya ini. tentunya kami mempunyai kekurangan dalam menyajikan pembahasan ini. Semoga makalah ini bermanfaat. Amien







            Berdasarkan latar belakang di atas penulis akan mencoba memberikan gambaran mengenai hal-hal yang masih universal tentang Al-Hadist dan As-Sunnah. Adapun rumusan permasalahannya adalah sebagai berikut:

1.      Apa yang dimaksud dengan Hadist, Sunnah, Atsar, dan Khobar?
2.      Mengapa istilah itu beraneka ragam?
3.      Apa yang dimaksud dengan struktur Hadist?
4.      Bagaimana konsekuensi umat Islam terhadap Hadist?





















PEMBAHASAN
A. Al-Hadits
1. Definisi Al-Hadits
Dalam kamus besar bahasa Arab [al-‘ashri], Kata Al-Hadits berasal dari bahasa Arab “al-hadist” yang berarti baru, berita.  Ditinjau dari segi bahasa, kata ini memiliki banyak arti, dintaranya:
1.      al-jadid (yang baru), lawan dari al-Qadim (yang lama)
2.      dekat (Qarib), tidak lama lagi terjadi, lawan dari jauh (ba’id)
3.      warta berita (khabar), sesuatu yang dipercayakan dan dipindahkan dari sesorang kepada orang lain.
Allah juga menggunakan kata hadits dengan arti khabar sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
فاليأ توا بحديث مثله ان كانواصدقين (الطور:34)
Artinya: “Maka hendaklah mereka mendatangkan suatu kabar (kalimat) yang semisal Al-Qur’an itu, jika mereka orang-orang yang benar” (QS. At-Thur: 34)
Secara terminologis, hadits ini dirumuskan dalam pengertian yang berbeda-beda diantara para muhadditsin dan ahli ushul. mereka berbeda-beda pendapatnya dalam menta’rifkan Al-hadits. Perbedaan tersebut disebabkan karena terpengaruh oleh terbatas dan luasnya objek peninjauan mereka masing-masing, yang tentu saja mengandung kecenderungan pada aliran ilmu yang didalaminya.
Ibnu Manzhur berpendapat bahwa kata ini berasal dari kata Al-Hadits, jamaknya: Al-Ahadits, Al-Haditsan dan Al-Hudtsan. [Endang sutari 2000:1]
Ada juga sebagian Ulama yang menyatakan, bahwa ahadits bukan jamak dari haditsyang bermakna khobar, tetapi meruppakan isim jamak. Mufrad ahadits yang sebenarnya, adalah uhdutsah, yang bermakna suatu berita yang dibahas dan sampai dari seseorang ke seseorang. [Hasbi Ashidiqi, sejarah pengantar ilmu hadits : 2]
Menurut Abdul Baqa’ hadits adalah isim dari tahdits yang berarti pembicaraan. kemudian didefinisikan sebagai ucapan, perbuatan atau penetapan yang dinisbatkan kepada Nabi s.a.w. [Subhi Shalih, 1993:15]
            Menurut istilah ahli ushul fiqih, pengertian hadits ialah:
كل ماصدر عن النبي صلى الله عليه وسلم غيرالقرأن الكريم من قول او فعل اوتقرير مما يصله ان يكون دليلا لحكم شرع
            “Hadits yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW selain Al-Qur’an al-Karim, baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir Nabi yang bersangkut paut dengan dengan hukum syara”.  
Sedangkan Ulama Hadits mendefinisikan Hadits sebagai berikut:
كل ما أثرعن النبي صلى الله عليه وسلم من قول او فعل اوتقرير اوصفة خلقية او خلقية
“Segala sesuatu yang diberikan dari Nabi SAW baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat maupun hal ihwal Nabi”.
Yang dimaksud dengan “hal ihwal” ialah segala yang diriwayatkan dari Nabi SAW yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran dan kebiasaan-kebiasaan. Endang Soetari AD., [1997:1-2]
Kedua hadits tersebut di atas menyatakan bahwa unsur Hadits itu terdiri dari tiga unsur yang ketiga unsur ini hanya bersumber dari Nabi Muhammad, ketiga unsur itu adalah:
1.      Perkataan. Yang dimaksud dengan perkataan  Nabi Muhammad ialah sesuatu yang pernah dikatakan oleh beliau dalam berbagai bidang.
2.      Perbuatan. Perkataan Nabi merupakan suatu cara yang praktis dalam menjelaskan peraturan atau hukum syara’. Contohnya cara Sholat.
3.      Taqrir. Arti taqrir adalah keadaan beliau mendiamkam, tidak menyanggah atau menyetujui apa yang dilakukan para sahabat. [Faturrahman 1985: 10]
Sementara kalangan ulama ada yang menyatakan bahwa apa yang dikatakan hadits itu bukan hanya yang berasal dari Nabi SAW, namun yang berasal dari sahabat dan tabi’in disebut juga hadits. Sebagai buktinya, telah dikenal adanya istilah hadits marfu’, yaitu hadits yang dinisbahkan kepada Nabi SAW, hadits mauquf, yaitu hadits yang dinisbahkan pada shahabat dan hadits maqtu’ yaitu hadits yang dinisbahkan kepada tabi’in. [Fathurahman 1985:12  dan Muh. Mahfudz At-Tarmussy manhaj dzawin nadzar : 7]
Jumhur Al-Muhadditsin berpendapat bahwa pengertian hadits merupakan pengertian yang terbatas sebagai berikut: “Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan, penyataan (taqrir) dan sebagainya” Fathur Rahman (1970:20)
Sebagaimana disebutkan oleh Muhammad Mahfuzh Al-Tirmizi, yaitu:
أن الحديث لايحتث بالمرفوع اليه صلى الله عليه وسلم بل جاء بلموقوف وهو ما أضيف الى الصحابى والمقطوع وهو ما أضيف للتبعي
Artinya: “Bahwasanya hadits itu bukan hanya untuk sesuatu yang marfu’ yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, melainkan bisa juga untuk sesuatu yang mauquf,yang disandarkan kepada sahabat dn yang maqtu, yaitu yang disandarkan kepada tabi’in” Munzier Suparta (2001:3)
Berdasarkan pengertian hadits diatas maka kami menyimpulkan bahwa hadits adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW baik ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau ketentuan-ketentuan Allah yang disyariatkan kepada manusia. Selain itu tidak bisa dikatakan hadits karena ahli ushul membedakan diri Nabi Muhammad dengan manusia biasa. Yang dikatakan hadits adalah sesuatu yang berkaitan dengan misi dan ajaran Allah yang diemban oleh Muhammad SAW sebagai Rasulullah. Ini pun, menurut mereka harus berupa ucapan, perbuatan dan ketetapannya. Sedangkan kebiasaan-kebiasaan, tata cara berpakaian dan sejenisnya merupakan kebiasaan manusia dan sifat kemanusiaan tidak dapat dikategorikan sebagai hadits. Dengan demikian, pengertian hadits menurut ahli ushul lebih sempit dibanding dengan hadits menurut ahli hadits.


1. Definisi As-Sunnah          
            Menurut bahasa sunnah berarti
الطريقة محمودة كانت اومذمونة
            “Jalan yang terpuji atau tercela” Munzier. (2001: 4)
Firman Allah s.w.t
`s9ur yÅgrB Ïp¨ZÝ¡Ï9 «!$# WxƒÏö7s? (الآحزاب:62)
            “Dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati peubahan pada sunnah Allah”.
            Adapun menurut istilah, ta’rif Sunnah antara lain sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad ajaj al-khathib:
ما أثر عن النبى ص.م من قول اوفعل اوتقريراوصفةخلقية
Artinya: “Segala yang dinukilkan dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup baik sebelum Nabi diangkat jadi rasul atau sesudahnya”. Endang Soetari, (1997: 5)
Sabda Nabi SAW,
لتتبعن سنن من قبلكم شبرا بشبرودراعابدراع حتى لودخلواحجرالضب لدخلتموه
Artinya:”sungguh kamu akan mengikuti sunnah-sunnah (perjalanan-perjalan) orang yang sebelummu” sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sehingga sekiranya mereka memasuki seorang dan (berupa biawak) sungguh kamu memasuki juga”.                                                                       (HR. Muslim)
Muhammad Ahmad- Mudzakir (1998:13)
Bila berbicara definisi As-Sunnah menurut Syara’ tentulah para ulama akan mengeluarkan arti yang berbeda, hal ini karena perbedaan disiplin ilmu yang mereka pelajari, maka lahirlah definisi As-Sunah sesuai bidang keilmuan mereka masing-masing.
a.       Ulama hadits membahas dan mengkaji tentang segala sesuatu dari Rasul SAW. yang berperan sebagai imam yang memberi petunjuk dan suri tauladan sehingga mereka mengartikan sunnah adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa ucapan, perbuatan, pengakuan maupun sifatnya.
b.      Menurut ulama ushul, As Sunnah adalah semua yang dikaitkan dengan Nabi SAW, selain Al-Qur’an, baik berupa ucapan, perbuatan atau pengakuannya yang berkaitan dengn dalil syar’i. Sebab yang menjadi objek pembahasan mereka adalah sabda yang berkonsekuensi pada dalil-dalil syara.
c.       Ulama fiqih membahas segala sesuatu dari Nabi Muhammad SAW. yang perbuatan-perbuatan beliau menunjukan ketentuan syara’ dan mereka mengkaji hukum syara’  maka, menurut mereka As Sunnah adalah sesuatu yang telah terbukti dari Nabi SAW, bukan termasuk pengertian fardu atau wajib dalam agama dan bukan pula bersifat taklif atau pembebanan (lebih menjurus pada hukum perbuatan manusia seperti: fardu, wajib, mandub, haram dan makruh). [M. Ajaj Al-khatib, Pengantar memahami As-Sunnah].
d.      Menurut ulama dakwah, As Sunnah adalah lawan dari Bid’ah. Sebab pembahasan mereka adalah memperhatikan perintah dan larangan syara. Sayid Muhammad Bin Alawi Al Maaliki Al Hasani (1995:14)
Adapun kaitannya dengan lafazd sunnah, meskipun menurut kebanyakan ulama adalah sinonim (muradif) dari lapazd hadits, tetapi ada juga yang membedakan antara keduanya.Hasbi Ash-Shiddieqy memberikan komentarnya sebagai berikut:
“Tegasnya, antara sunnah dan hadits ada perbedaan yang tegas. Menamai sunnah adalah istilah para mutaakhirin saja. Ahli Hadits banyak memakai kata’hadits’, sedangkan ahli ushul banyak memakai kata ‘Sunnah’.
Namun Hasbi Ash-Shiddieqy menyatakan pula bahwa sunnah sama dengan hadits. Antara hadits dan sunnah dapat dibedakan dalam hal konotasinya adalah segala peristiwa yang dinisbahkan kepada Nabi SAW walaupun hanya sekali saja beliau mengucapkannya atau mengerjakannya dan walaupun diriwayatkan oleh perorangan saja. Sedangkan Sunnah adalah sesuatu yang diucapakan atau dilaksanakan oleh Nabi SAW terus menerus, dinukilkan dari masa kemasa dengan jalan mutawatir. Nabi SAW melaksanakannya beserta para sahabat, kemudian oleh para tabi’in dan generasi berikutnya sampai pada masa-masa berikutnya menjadi pranata sosial dalam  kehidupan umat manusia.
Dengan demikian berdasarkan definisi-definisi ditas kami menyimpulkan bahwa hadits dan sunnah mempunyai persamaan, yakni keduanya bersumber pada Rasulullah SAW. Sedangkan perbedaannya adalah sunnah itu lebih umum daripada hadits. Sunnah Nabi hanyalah tata cara dan perilaku Nabi yang beliau praktekan terus menerus dan diikuti oleh para sahabatnya, sedangkan hadits adalah perkataan Nabi yang diriwayatkan oleh seorang atau dua orang, lalu hanya mereka saja yang mengetahuinya dan tidak menjadi pegangan atau amalan umum.

C. Khabar
Secara etimologis khabar  berasal dari kata :khabar, yang berarti ‘berita’.
Adapun secara terminologis, para ulama Hadits tidak sepakat dalam menyikapi lafadz tersebut.sebagaimana mereka berpendapat adalah sinonim dari kata hadits dan sebagian lagi tidak demikian. Karena Khabar adalah berita, baik berita dari Nabi SAW, maupun dari sahabat atau berita dari tabi’in. (Endang Soetari AD. : 2000 : 7).
Sementara Khabar menurut ahli Hadits, yaitu : “Segala sesuatu yang disandarkan atau berasal dari Nabi SAW atau dari yang selain Nabi SAW”. (Muhammad Ahmad – Mudzakir :1998 : 15).
Ulama lain mengatakan Khabar adalah sesuatu yang datang selain dari Nabi SAW, sedang yang datang dari Nabi SAW disebut Hadits. Ada juga ynag mengatakan bahwa Hadits lebih umum dan lebih luas daripda Khabar, sehingga tiap Hadits dikatakan Khabar dan tidak setiap Hadits tidak dikatakan Khabar. (Munzier Suparta : 2001 : 15).
Karena itu, sebagian ulama berpendapt bahwa Khabar itu menyangkut segala sesuatu yang datang dari selain Nabi SAW. Sedangkan Hadits khusus untuk segala sesuatu yang berasal dari Nabi SAW. ( Muhammad Ahmad – Mudzakir :1998 : 16).

D. Atsar
            Atsar dari segi bahasa artinya bekas sesuatu atau sisa. Sesuatu dan berarti pula nukilan (yang dinukilkan). Karena doa yang dinukilkan / berasal dari Nabi SAW. Dinamkan doa maksur. (Muhammad Ahmad – Mudzakir :1998 : 16).
Sedangkan atsar menurut istilah terjadi perbedaan pendapat diantara pendapat para ulama. Sedangkan menurut istilah:
ماروي عن الصحابة ويحوزاطلاقه على كلام النبى ايضا
Artinya: “yaitu segala sesuatu yang diriwayatkan dari sahabat danboleh juga disandarkan pada perkataan Nabi SAW”.  Munzier Suparta (2001:15-16 ).
Jumhur ulama mengatakan bahwa atsar sama dengan khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, sahabat dan tabi’in. sedangkan menurut ulama Khurasan bahwa atsar untuk yang mauquf dan khabar untuk yang marfu’. (Mudasir : 1999: 32).
E. Sebab-sebab Keanekaragaman Istilah Hadist
            Syuhudi Ismail menjelaskan bahwa sebab-sebab Hadits dinamai dengan Hadits sebagai berikut: 
    Karena pada saat kita meriwayatkan Hadits, kita menyatakan:

حدثنى أن النبي صلى ألله عليه وسلم قال:...
“dia menceritakan kepadaku bahwa Nabi bersabda……”
Karena ditinjau dari segi “kebaharuannya” dan pula sebagai perimbangan terhadap Al-Qur’an yang bersifat qadim, azaly. Subhy Shalih menyatakan bahwa para Ulama, telah menghindarkan diri untuk menggunakan istilah “Haditsullah” untuk Al-Qur’an.
1)     Karena kalimat dalam hadits tersusun dari huruf-huruf yang datang beriringan. Tiap-tiap huruf yang terjadi sebelumnya.
2)     Karena dengan mendengar Hadits, akan timbul dalam hati berbagai ilmu dan pengertian.
        [M. Syuhudi Ismail 1987:7).
 1)     Perjalanan hidup Rasulullah. Menurut Ibnu Faris, Sunnah Rasul Adalah perjalanan hidupnya.
 2)     Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Allah. [Habsbi Ash Shiddeqy 1999: 13].


F. Perkembangan Pengertian Istilah Hadits
            Kebanyakan para muhadditsin, baik yang termasuk aliran modern maupun aliran kuno, berpendapat bahwa istilah Al-Hadits, Al-Khabar, Al-Atsar dan As-Sunnah adalah Muradif (sinonim) walaupun disana sini ada ulama yang membedakan, namun perbedaan tersebut tidak prinsipil. umpamanya ada suatu pendapat yang membedakan bahwa pengertian Al-Hadits itu hanya terbatas pada kepada yang datang dari Nabi Muhammad s.a.w saja, sedang al-khabar terbatas kepada apa yang datang dari selainnya. karena itu orang yang tekun kepada ilmu hadis saja disebut dengan muhaddits, sedangkan orang yang tekun pada Khabar disebut Akhbary. ada pula pendapat yang membedakan dari segi umum dan khusus muthlaq, yakni tiap-tipa hadits itu khabar, tapi sebaliknnya tiadak tiap-tiap Khabar itu dikatakan Hadits. Disamping ada pendapat yang mengatakan, bahwa Atsar itu ialah yanga datanga dari sahabat, tabi’in dan orang-orang sesudahnya. Juga ada pendapat yang menyatakan, bahwa istilah atsar itu lebih umum penggunaanya  dari pada istilah Hadits dan Khabar.
            pendapat ini berbeda dengan apa yang dikatakan Muhammad Mahfudh:
ان الحديثل لايحتص بالمرفوع اليه صلى الله عليه وسلم بل جاء بأطلاقه ايضا للموقوف ( وهو ما أضيف الى الصحابة من قول ونحوه)والمقطوع(وهو ما اضيفللتبعى كدلك)
“Sesungguhnya hadits itu bukan hanya yang dimarfu’kan kepada Nabi s.a.w saja.melainkan dapat pula disebutkan pada apa yang mauquf, dan apa yang maqtu”. [faturrahman 1885:13]
            Mula-mula istilah hadits ini mengandung pengertian sebagai khabar dan kisah, baik yang baru maupun yang lama. Hal ini pararel dengan ucapan Abu Hurairah kepada kaum Anshar yang menyatakan: “Apakah Kamu Ingin untuk saya khabarkan kepadamu tentang suatu kisah dri kisah-kisah di zaman jahiliyah?
            Tahap berikutnya, pengertian Hadits dipakai sebagai Khabar yang berkembang dalam masyarakat agama Islam dalam arti umum. Yakni belum dipisahkan antara Khabar yang berupa wahyu Allah (Al-Qur’an) dan Khabar yang berupa sabda Rasul. Bersabda Rasulullah SAW:
"Adapun setelah itu, maka sesunnguhnya, sebenar-benar Hadits (Khabar) adalah Kitabullah dan seutama-utama petunjuk adalah petunjuk Muhammad…”
      (Riwayat Muslim)

            Pada akhirnya, lapadz Hadits dipakai khusus untuk Hadits-hadits Rasul SAW. Menurut Subhi Shalih, bahwa Nabi sendiri memberi nama terhadap sabdanya dengan Hadits. Hal ini sesuai dengan riwayat dari Abu Hurairah yang pernah bertanya kepada Rasu;ullah:
“Siapakah orang yang paling berbahagia dengan syafaatmu di hari kiamat kelak? Maka bersabdalah Rasul SAW:
"Aku telah menyangkanya Abu Hurairah, bahwa tak ada seorang pun yang bertanya kepadaku tentang hadits ini yang lebih dahulu daripadamu karena aku melihat bahwa engku sangat berminat pada Hadits”.
     (Riwayat Bukhari)
G. Perkembangan Pengertian Istilah Sunnah
a). Mula-mula dalam masyarakat Arab dahulu lapadz Sunnah mempunyai pengertian:
“Jalan yang ditempuh dalam menjalani kehidupan perorangan dalam masyarakat”. Pengertian ini berkembang pada permulaan abad Hijri dalam madrasah-madrasah Hijaj dan Irak.
b). Pada akhir abad kedua Hijri dengan dipelopori oleh Imam Syafi’i maka Sunnah diartikan khusus untuk sunnah Rasul.
c). Pada abad ke-4 Hijri, ahli kalam mengartikan Sunnah untuk I’tiqat yang didasarkan kepada keterangan Allah dan Rasullah serta tidak kepada rasio semata seprti ahli filsafat. Maka orang yang I’tiqatnya hanya mendasarkan kepada Al-Qur’an dan keterangan Rasulullah SAW dinamai dengan “Ahlu Sunnah” (misalnya golongan Asy’ariyah dan Maturidiyah).  


1. Sanad
Kata “Sanad” menurut bahasa adalah “sandaran” atau sesuatu yang akan dijadikan sandaran. Dikatakan demikian, karena hadist bersandar kepadanya. Sedangkan menurut istilah, terdapat perbedaan rumusan pengertian. Al-Badru bin Jama’ah dan Al-Thiby mengatakan bahwa : “Berita tentang jalan matan” Mudasir (2005:61).
Ada juga yang menyebutkan :“Silsilah para perawi yang menukilkan hadist dari sumbernya yang pertama” Munzier Suparta (1993:45-46).
Muhammad Ahmad- Mudzakir (1998:51)
Yang berkaitan dengan istilah sanad,terdapat kata-kata seperti, al-isnad, al-musnid dan al-musnad. Kata-kata ini secara terminologis mempunyai arti yang cukup luas, sebagaimana yang dikembangkan oleh para ulama.
Kata al-isnad berarti menyandarkan, mengasalkan (mengembalikan ke asal) dan mengangkat. Yang dimaksud disini ialah menyandarkan hadits kepada orang yang mengatakannya (raf’u hadits ila qa ‘ilih atau ‘azwu hadits ila qa’ilih). Menurut At-thiby, “Kata al-isnad dan al-sanad digunakan oleh para ahli dengan pengertian yang sama”. Mudsir (2005:62).
Kata al-musnad mempunyai beberapa arti, bisa berarti hadits yang disandarkan atau diisnadkan oleh seseorang, bisa berarti nama suatu kitab yang menghimpun hadits-hadits dengan system penyusunan berdasarkan nama-nama para sahabat, perawi hadits, seperti kitab Musnad Ahmad, bisa juga berarti nama bagi hadits yang marfu’ dan muttashil.

2. Matan
Kata “matan” atau “al-matn” menurut bahasa berarti Mairtafa’a min al-ardi (tanah yang meninggi). Sedangkan menurut istilah ahli hadits adalah : “Perkataan yang disebut pada akhir sanad, yakni sabda Nai SAW. Yang disebutkan sanadnya” Muhammad Ahmad- Mudzakir (1998:52).
Ada juga yang mengatakan: “Suatu kalimat tempat berakhirnya sanad”. Munzier Suparta (1993:46).
Atau dengan redaksi lain: “Lafadz-lafadz hadits yang didalamnya mengandung makna-makna tertentu”.  Mudasir (2005:62-63).
3. Rawi ( periwayat)
Kata “rawi” atau “al-rawi” berarti orang yang meriwayatkan atau memberitakan hadits (naqil al-hadits).
Sebenarnya antara sanad dan rawi itu merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan. Sanad-sanad hadits pada tiap-tiap tabaqahnya juga disebut rawi, jika yang dimaksud rawi adalah orang yang meriwayatkan dan memindahkan hadits. Akan tetapi yang membedakan antara sanad dan rawi adalah terletak pada pembukuan atau pentadwinan hadits. Orang yang menerima hadits dan kemudian menghimpunnya dalam suatu kitab tadwin, disebut dengan perawi. Dengan demikian, maka perawi dapat disebut mudawwin (Orang yang membukan dan menghimpn hadits).
Dari berbagai pengertian tentang sanad, matan dan rawi dengan berbagai urgensi yang berbeda-beda yang menunjukan begitu indah perbedaan pemikiran yang menghiasi pengertian tentang sanad, matan dan rawi. Dengan ini kami menyimpulkan bahwa yang dimaksud sanad adalah orang-orang yang meriwayatkan hadits atau yang menyampaikan hadits pada matan. Matan adalah isi, materi atau lafadz hadits itu sendiri sedangkan rawi adalah orang yang menghimpun dan membukukan hadits. 
I. Perbedan Pengertian istilah Hadits dengan Sunnah
1). Hadits ialah “Segala yang diriwayatkan dari Nabi, yang hanya terbatas berupa         perkataan saja”.
2).  Sunnah ialah “Segala yang diriwayatkan dari Nabi, baik perbuatan maupun perkataan”.
1). Hadits ialah “Pembicaraan yang diriwayatkan oleh sesorang, atau dua orang, kemidian hanya mereka saja yang mengetahuinya (tidak menjadi amalan atau pegangan umum)”.
2). Sunnah ialah “Suatu jalan yang dipraktekkan oleh Nabi secara terus-menerus dan diikuti oleh para sahabat beliau”. (Pengantar Ilmu hadits, Syuhudi Ismail)

J. Kedudukan Sanad dan Matan Hadits
Ahli hadits sangat hati-hati dalam menerima suatu hadits kecuali apabila mengenal dari siaap mereka menerima setelah benar-benar dapat dipercaya. Pada umumnya riwayat dari golongan sahabat tidak disyaratkan apa-apa untuk diterima periwayatannya. Akan tetapi mereka pun sangat hati-hati dalm menerima hadits.
Pada masa Abu Bakar r.a. dan Umar r.a periwayatan hadits diawasi secara hati-hati dan tidak akan diterima jika tidak disaksikan kebenarannya oleh oleh orang lain. Ali bin Abu Tholib tidak menerima hadits sebelum meriwayatkannya disumpah.
Kedudukan sanad dalam hadits sangat penting, karena hadits yang diperoleh atau diriwayatkan akan mengikuti siapa yang meriwayatkannya. Dengan sanad suatu periwayatan hadits dapat diketahui mana yang dapat diterima atau ditolak dan mana hadits yang shahih atau tidak untuk dimalkan.
Ada beberapa hadits dan atsar yang menerangkan keutaman sanad, diantaranya yaitu : Diriwayatkan oleh Muslim dan Ibnu Sirin, bahwa beliau berkata :
”ilmu ini (hadits ini) ialah agama, karena itu telitilah orang-orang yang kamu mengambil agamamu dari mereka”.
Asy-Syafi’I berkata: “Perumpaanorang yang mencari (menerima) hadits tanpa sanad, sama dengan orang yang mengumpulkan kayu api dimalam hari”
Ibnu Hazm mengatakan bahwa nukilan orang kepercayaan dari orang yang dipercaya hingga sampai kepad Nabi SAW. Dengan bersambung-sambung perawi-perawinya adalah suatu keistimewaan dari Allah khususnya kepada orang-orang islam.
            Berpedoman kepada al-Hadits untuk di’amalkan dan menganjurkan orang lain untuk maksud yang sama, adalah suatu kewajiban. Agar kewajiban tersebut, dapat dipenuhi dalam memilih Hadits shahih dan hasan, untuk di’amalkan dan meneliti Hadits Dla’if dengan segala ragamnya, untuk untuk ditinggalkan, sudah barang tentu memerlukan suatu pengetahuan yang disebut ilmu Hadits atau yang lebih dikenal dengan nama Mushthalahu’l – Hadits.
            Al-Qur’an adalah Kitabullah yang berisikan perintah-perintah dan larangan-larangan yang ditujukan kepada hamba-Nya. Ia sebagai petunjuk dan penjelasan. Sedang hadits rasulullah SAW adalah sebagai penjelasan Al-Qur’an, seperti Firman Allah Ta’ala:
“Dan Kami telah menurunkan Al-Qur’an kepadamu, aga engku jelaskan kepada ummat manusia, apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan mudah-mudahan mereka pada memikirkannya”. (An-Nahl: 44).
            Mengingat fungsi ilmu hadits sangat penting dan menentukan sebagai pedoman beramal, maka Imam Sufyan Saury berkata sebagai berikut:
“Saya tidak mengenal ilmu yang lebih utama bagi orang yang berhasrat menunjukan wajahnya dihadapan Allah, selain daripada ilmu Hadits. Orang-orang sangat memerlukan ini, sampai kepada soal-soal kecil sekalipun, seperti makan, minum memerlukan petunjuk dari Al-Hadits. Mempelajari Ilmu Hadits lebih utama daripada menjalankan sembahyang dan puasa sunnat, karena mempelajari ilmu ini adalah fardhu kifayah, sedang sembahyang dan puasa sunnat, adalah sunnat”. ( Ikhtisar Mushthalalu’l Hadits, Fatchur Rahman 1974 :19).      

            Hadits (Sunnah) merupakan dasar bagi ajaran islam, merupakan salah satu syari’at, yakni sebagai sumber syariat islam yang ke-2 setelah Al-Qur’an. Ummat Islam diharuskan mengikuti dan menta’ati Allah SWT dan Rasul-Nya. Seperti Firman Allah SWT: “Dan ta’atilah Allah dan Rasul supaya kamu dirahmati”. (Q.S Al-Imran: 132)
            Menta’ati Rasul artinya mengikuti Rasul tentang segala perintahnya dan segala larangannya, dengan kata lain mengikuti Sunnahnya. Karena itu, segala Hadits yang diakui shahih, wajib diikuti dan diamalkan oleh ummat islam, sama halnya dengan keharusan mengikuti Al-Qur’an sebab Hadits merupakan interpretasi (bayan) dari Al-Qur’an. Melihat kedudukannya yang sangat penting ini, maka jika kita mengetahui dan memahami Hadits secara benar, kita bisa mengamalkannya dalam menjalankan syariat islam, melakukan istinbath hukum dan agar mengetahui problematikanya lalu dapat meletakkan Hdits pada proporsi yang sebenarnya. (Ilmu Hadits, Endang Soetari: 1994 : 15). 






















KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas dapat kita simpulkan bahwa:
1.      hadits adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW baik ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau ketentuan-ketentuan Allah yang disyariatkan kepada manusia.
2.   Sunnah yaitu segala sesuatu yang diriwayatkan dari sahabat danboleh juga disandarkan pada perkataan Nabi SAW
hadits dan sunnah mempunyai persamaan, yakni keduanya bersumber pada Rasulullah SAW. Sedangkan perbedaannya adalah sunnah itu lebih umum daripada hadits. Sunnah Nabi hanyalah tata cara dan perilaku Nabi yang beliau praktekan terus menerus dan diikuti oleh para sahabatnya, sedangkan hadits adalah perkataan Nabi yang diriwayatkan oleh seorang atau dua orang, lalu hanya mereka saja yang mengetahuinya dan tidak menjadi pegangan atau amalan umum.
3.   Khabar adalah sesuatu yang datang selain dari Nabi SAW, sedang yang datang dari Nabi SAW disebut Hadits
4. Atsar adalah yaitu segala sesuatu yang diriwayatkan dari sahabat dan boleh juga disandarkan pada perkataan Nabi SAW
2.      Keanekaragaman Istilah Hadist ini disebabkan adanya perbedaan peninjauan tentang obyek Hadits itu sendiri.
3.      Struktur Istilah Hadist yaitu bagian-bagian yang tidak dapat di pisahkan dalam periwayatan hadits yang terdiri dari
-          Sanad adalah Perkataan yang disebut pada akhir sanad
-          Matan adalah Perkataan yang disebut pada akhir sanad,
-          Rawi atau “al-rawi” berarti orang yang meriwayatkan atau memberitakan hadits (naqil al-hadits). Sebenarnya antara sanad dan rawi itu merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan. Sanad-sanad hadits pada tiap-tiap tabaqahnya juga disebut rawi, jika yang dimaksud rawi adalah orang yang meriwayatkan dan memindahkan hadits.
4.  Konsekuensi umat Islam terhadap Hadits
            Hadits (Sunnah) merupakan dasar bagi ajaran islam, merupakan salah satu syari’at, yakni sebagai sumber syariat islam yang ke-2 setelah Al-Qur’an yang harus dijadikan pedoman. Dampak Ummat Islam terhadap hadits sangat menonjol terutama dikalangan sufi, yang lebih mendalami sunnah-sunnah rasul. hal ini terbukti banyaknya Muhadditsin dikalangan masyarakat.
            Menta’ati Rasul artinya mengikuti Rasul tentang segala perintahnya dan segala larangannya, dengan kata lain mengikuti Sunnahnya. Karena itu, segala Hadits yang diakui shahih, wajib diikuti dan diamalkan oleh ummat islam, sama halnya dengan keharusan mengikuti Al-Qur’an sebab Hadits merupakan interpretasi (bayan) dari Al-Qur’an. Melihat kedudukannya yang sangat penting ini, maka jika kita mengetahui dan memahami Hadits secara benar, kita bisa mengamalkannya dalam menjalankan syariat islam, melakukan istinbath hukum dan agar mengetahui problematikanya lalu dapat meletakkan Hadits pada proporsi yang sebenarnya.
                        Berpedoman kepada al-Hadits untuk di’amalkan dan menganjurkan orang lain       untuk   maksud yang sama, adalah suatu kewajiban. Agar kewajiban tersebut dapat             dipenuhi tentulah harus mempelajari ilmu tentang hal tersebut dengan kata lain             mempelajari ilmu hadits itu wajib.




Prof. DR. H. Endang Soetari AD, M. Si, Ilmu Hadits (Kajian Riwayah dan Dirayah), Mimbar       Pustaka, Bandung, 2000.

Prof. DR. H. Endang Soetari AD, M. Si, Ilmu Hadits (Kajian Riwayah dan Dirayah), Amal Bhakti Pers, Bandung, 2000.

Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu’l Hadits, PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1987.


Drs. H. Muhammad Ahmad, Drs M. Mudzakir, Ulumul Hadist, Pustaka Setia, Bandung, 2000.

Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadits, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang, 1999.

DR. Muhammad ‘Ajay Al-Khathib, Ushul Al-Hadits (Pokok-pokok Ilmu Hadits), Gaya Media Pratama, Jakarta, 2007.

Sayid Muhammad Al Maliki Al Hasani, Mutiara Pokok Ilmu Hadist, Trigenda Karya, Bandung, 1995.



DR. H. Rachmat Syafe’i, M.A, Al-Hadits, Pustaka Setia, Bandung, 2000.

Rabu, 30 Maret 2011

Zakat

Kata Pengantar

            Segala puji bagi Allah Sang Pencipta alam yang telah memberikan nikmat yang begitu besar yaitu iman dan Islam. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Juga kepada para sahabatnya, tabi’in, tabi’it tabi’in dan semoga sampai kepada kita selaku umatnya yang bertakwa.
            Makalah revisi yang berjudul “ zakat “ ini kami susun untuk memenuhi tugas kelompok Ilmu Hadits. Kami harap makalah ini dapat menjadi sumber ilmu pengetahuan bagi kita semua, terutama bagi para mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung agar bisa membawa perubahan kearah yang lebih baik.
             Kami sadar bahwa makalah yang kami susun masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan saran dan kritik dari semua yang membaca makalah ini, terutama dari Bapak Maslani selaku dosen Ilmu hadits agar kami dapat memperbaiki makalah ini menjadi lebih baik.
Terima kasih




Bandung, Desember 2008


        Penulis







i
DAFTAR ISI


Kata Pengantar                                                                                                           i
DAFTAR ISI                                                                                                              ii
BAB I PENDAHULUAN                                                                                         1
A.    Latar Belakang                                                                                          1
B.     Rumusan Masalah                                                                                     1
BAB II PEMBAHASAN
ZAKAT                                                                                                                      2
1.Pengertian Zakat                                                                                          2
2.      Orang yang Wajib Berzakat                                                                      2
3.      Macam – macam harta yang Dikenai Zakat                                              3
4.      Kadar Zakat dan Kadar Harta  yang  Dikenai Zakat                               3
5.      Harta Perniagaan                                                                                       5
6.      Hasil bumi, Makanan pokok dan Buah – buahan                                     6
7.      Barang Tambang dan Barang Temuan                                                      6
8.      Orang – orang Yang Berhak Menerima Zakat                                          7
9.      Orang – orang yang Tidak Berhak Menerima Zakat                                8
ZAKAT FITRAH                                                                                                       9
1.      Pengertian                                                                                                 9
2.      Syarat – syarat Wajib Zakat Fitrah                                                           9
3.      Banyak Sedikitnya Zakat Fitrah                                                               10
PAJAK DAN ZAKAT                                                                                               11       
BAB III KESIMPULAN                                                                                           22
DAFTAR PUSTAKA                                                                                                            23




ii
BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

            Makalah ini tercipta karena besarnya rasa keingintahuan kami untuk menggali lebih dalam mengenai Ilmu hadits terutama pada segi zakat. Kami berkeyakinan bahwa segala perintah agama ( ibadah ) itu mengandung hikmah dan faedah untuk kebaikan kita sendiri, untuk masyarakat kita, dan untuk dunia pada umumnya, hanya saja hikmah – hikmah itu ada yang dengan mudah kita ketahui, dan ada pula yang belum kita ketahui, Diantara kitapun ada yang mengetahui lebih banyak dan ada pula yang tidak mengetahui sama sekali, melainkan hanya yakin bahwa ada hikmah – hikmah itu didalamnya. Aka dari itu kita tidak boleh hanya mengambil hikmahnya saja, dengan meninggalkan pokoknya, karena mengingat faham kita tentang zakat tidak sempurna.
            Begitu banyak hal yang dapat kami ketahui setelah mengkaji tentang zakat ini. Pertama, mengenai pengertian zakat. Kedua, barang – barang yang wajib dikeluarkan zakatnya. Ketiga, orang – orang atau golongan – golongan yang berhak menerima zakat. Keempat, hokum mengeluarkan zakat, dan lain sebagainya.
            Adapun tujuan penulis dalam menyusun makalah ini diantaranya yaitu ingin meningkatkan intelektualitas penulis sebagai mahasiswa dalam bidang hadits. Besar harapan kami sebagai penulis agar rekan – rekan mahasiswa ikut andil dalam proses penajaman intelektual sehingga daya piker kita bisa terlatih dalam menghadapi suatu masalah baik dikawasan intern maupun lingkungan ekstern yang lebih luas yaitu di masyarakat.

B. Rumusan Masalah
            1. Apa pengertian zakat?
            2. Mengapa kita harus mengeluarkan zakat?
            3. Siapa saja yang harus mengeluarkan dan menerima zakat?
I
BAB II PEMBAHASAN
ZAKAT


A. Pengertian Zakat

            Sebelum kita membahas tentang pembagian zakat alangkah lebih baiknya bila kita memahami pengertian zakat. Menurut Abubakar Muhammad (1991:479) zakat menurut pengertian Loghat adalah kata “musytarak”. Zakat adalah “musytarak” (yang mempunyai pengertian lebih dari satu) yang menurut pengertian loghat adalah : tumbuh dan suci. Kata “zakat” itu berlaku umum bagi sedekah wajib, sedekah sunat, nafaqah, ampunan dan hak.
KH. Imam Zarkasyi (1958:1) zakat menurut bahasa ialah pembersihan, dari membersihkan atau pertumbuhan , dari tumbuh. Arti zakat dalam syari’at Islam adalah Sebagian harta yang wajib diberikan kepada orang-orang yang tertentu, dengan syarat –syarat yang tertentu pula.
H. Sulaiman Rasyid (2001:192) zakat artinya kadar harta yang tertentu, yang diberikan kepada yang berhak menerimanya, dengan beberapa syarat.
Berdasarkan pengertian-pengertian zakat diatas, maka dapat kami simpulkan pengertian zakat adalah menyisihkan sebagian harta untuk diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya.

B. Orang yang Wajib Berzakat
Fuqaha telah sependapat bahwa zakat itu wajib diwajibkan atas :
1.                  Islam
2.                  Baligh / dewasa
3.                  Merdeka
4.                  Milik penuh
5.                  Sampai nishabnya
6.                  Cukup setahun
2
C. Macam-macam Harta yang Dikenai Zakat
Adapun harta benda yang wajib dizakati menurut Imam Zarkasyi (1958:2) ialah sebagai berikut :
1.                  Emas, Perak dan Uang
2.                  Binatang ternak
3.                  Harta perniagaan
4.                  Hasil bumi, Makanan pokok dan Buah-buahan
5.                  Barang tambang dan Barang temuan
Tiap-tiap jenis itu ada syarat-syarat dan nisabnya, (batas minimum mulai wajib dikeluarkan zakatnya). Jadi sesuatu jenis yang kurang dari nisabnya, tidak wajib dikeluarkan zakatnya.

D. Kadar Zakat dan Kadar Harta yang Dikenai Zakat
1.                    Nisab Emas, Perak, Uang dan zakatnya.
Menurut KH. Imam Zarkasyi (1959:3) Emas dan perak wajib dizakati apabila yang bersihnya cukup satu nisab.
-                      Nisab emas bersih : 20 dinar (mitsqal), kira-kira 96 gram. Zakatnya 2.50% atau seper-empat puluhnya.
-                      Nisab perak bersih : 200 dirham, kira-kira 672 gram. Zakatnya 2.50% atau seper-empat puluhnya. Emas dan perak perhiasan yang tersedia untuk dipakai perempuan, dan tidak berlebih-lebihan, lagi tidak untuk sebagai simpanan maka tidak wajib dizakati.
-                      Perlu diperhatikan, bahwa dasar peredaran uang adalah emas. Karena peredaran uang berdasar emas, maka nisab dan zakatnya sama atau seharga nisab dan zakat emas. Jadi, uang (yang berupa kertas sekalipun) yang seharga emas 96 gram atau lebih, wajiblah dikeluarkan zakatnya 2.50% atau seper-empat sepuluhnya.

3
2.            Nisab Binatang Ternak dan Zakatnya
a.       Kambing atau Domba
Yang memiliki kambing atau domba mulai dari 40 ekor wajib mengeluarkan zakatnya.
-                      40-120 ekor, zakatnya 1 ekor.
-                      121-200 ekor, zakatnya 2 ekor.
-                      201-300 ekor, zakatnya 3 ekor.
-                      301-400 ekor, zakatnya 4 ekor.
-                      401-500 ekor, zakatnya 5 ekor.
Demikian seterusnya, tiap-tiap bertambah 100 ekor kambing maka zakatnya bertambah satu ekor.
b.      Sapi dan Kerbau
Menurut H. Sulaiman Rasjid (2001:199) Orang yang memiliki sapi dan kerbau mulai dari 30 ekor ke atas, wajib mengeluarkan zakatnya.
-                      30-39 ekor, zakatnya 1 ekor anak sapi atau kerbau umur 2 tahun lebih.
-                      40-59 ekor, zakatnya 1 ekor anak sapi atau kerbau umur 2 tahun lebih.
-                      60-69 ekor, zakatnya 2 ekor anak sapi atau kerbau umur 1 tahun lebih.
-                      70 dan seterusnya, zakatnya 1 ekor anak sapi atau kerbau yang berusia 2 tahun lebih dan 1 ekor anak sapi dan kerbau yang berusia 1 tahun lebih.
c.       Unta
Orang yang memiliki unta mulai 5 ekor ke atas wajib mengeluarkan zakatnya.
-                      5-9 ekor unta, zakatnya 1 ekor kambing.
-                      10-14 ekor unta, zakatnya 2 ekor kambing.
-                      15-19 ekor unta, zakatnya 3 ekor kambing.

4
-                      20-24 ekor unta, zakatnya 4 ekor kambing.
-                      25-35 ekor unta, zakatnya 1 ekor anak unta umur 1 tahun lebih.
-                      36-45 ekor unta, zakatnya 1 ekor anak unta umur 2 tahun lebih.
-                      46-60 ekor unta, zakatnya 1 ekor anak unta umur 3 tahun lebih.
-                      61-75 ekor unta, zakatnya 1 ekor anak unta umur 4 tahun lebih.
-                      76-90 ekor unta, zakatnya 2 ekor anak unta umur 2 tahun lebih.
-                      91-120 ekor unta, zakatnya 2 ekor anak unta umur 3 tahu lebih.
-                      121 ekor unta, zakatnya 3 ekor anak unta umur 2 tahun lebih.

               3.      Harta Perniagaan
                        a.   Perdagangan.
                              Setiap tahun pedagang harus membuat neraca atau perhitungan harta perniagaan, untuk mengetahui jumlah harganya menurut harga barang pada waktu itu. Apabila jumlah harta perniagaan itu telah sampai nisab, maka wajib dikeluarkan zakatnya. Pada waktu sekarang ini, modal pokok dihitung dengan uang, maka nisabnya seperti uang atau emas. Zakatnya 2.50%. Contoh : Harta dagangan yang mencapai jumlah seharga 96 gram emas, wajiblah dikeluarkan zakatnya sebanyak 2.50%. Yang dihitung bukan dari untungnya saja, tetapi seluruh pokok dan labanya. Kalau sekiranya harga satu gram emas adalah Rp.20.000,-, maka barang dagangan yang seharga 96 x Rp.20.000 = Rp.1.920.000,- wajiblah dikeluarkan zakatnya 2.50% sama dengan Rp.48.000,-
b.      Koperasi, Perseroan dan sebagainya.
Harta perdagangan koperasi atau perseroan yakni harta yang dipunyai oleh beberapa

5

orang tetapi menjadi satu perniagaan maka hukumnya dihitung menjadi satu perniagaan.
Nisab zakatnya dihitung seperti perhitungan zakat perdagangan.

4.            Hasil bumi, Makanan pokok dan Buah-buahan.
Hasil bumi yang wajib dizakati ialah hasil bumi yang dapat menjadi makanan pokok seperti : Padi atau beras, jagung, gandum dan sebagainya. Serta dua buah macam buah-buahan yaitu kurma dan anggur.
Tidak disyaratkan setahun dimiliki. Jadi, wajib dikeluarkan pada tiap kali panen.
a.       Nisab dan zakatnya.
-                      Segala macam hasil bumi yang telah bersih, nisabnya 5 wasak. Kira-kira 700kg.
-                      Hasil bumi yang masih berkulit nisabnya 10 wasak. Kira-kira 1400kg.
-                      Apabila hasil tersebut diairi dengan air hujan, air dari mata air dengan tidak mengeluarkan biaya, maka zakatnya 10%.
-                      Adapun yang diairi dengan air dengan cara mengeluarkan biaya, maka zakatnya hanya 5%.
Semua hasil yang sudah masak itu wajib dizakati. Termasuk yang dikeluarkan untuk upah mauai, mengangkut dan sebagainya.

               5.      Barang Tambang dan Barang Temuan.
                        a.   Barang tambang
Emas atau perak hasil tambang nisabnya sama dengan nisab emas atau perak. Yaitu, 20 dinar atau mitsqal sama dengan 96 gram bagi emas. Dan 200 dirham kira-kira 672 gram bagi perak. Zakatnya 2.50% atau seper-empat puluhnya.
b.      Barang Temuan (rikaz)
Nisabnya sama dengan emas atau perak. Zakatnya 20% atau seper-lima.

6
E. Orang-orang Yang Berhak Menerima Zakat

Menurut Ibnu Rusyd (1990-568), orang-orang yang berhak menerima zakat adalah sebagai berikut:
1.            Fakir
Orang yang sangat miskin, tidak berharta dan tidak pula mempunyai pekerjaan guna mencukupi nafkahnya.
2.            Miskin
Orang yang memiliki pekerjaan namun tidak dapat mencukupi nafkahnya.
3.            ‘Amil
Orang yang diangkat untuk mengambil dan mengurus zakat.
4.            Mu’allaf
Orang yang memasuki agama Islam namun masih lemah kemauannya.
5.            Hamba Sahaya
Budak yang mempunyai perjanjian akan dimerdekakan oleh tuannya dengan jalan menebus dirinya.
6.            Gharim
Orang yang mempunyai hutang karena suatu kepentingan yang bukan maksiat, dan ia tidak mampu untuk melunasinya.
7.            Fi Sabilillah
Orang yang berperang guna meninggikan agama Allah karena ia tidak dapat mencari nafkah ketika itu.
8.            Ibnu Sabiel (musafir)
Orang yang kehabisan bekal dalam bepergian dengan maksud baik, seperti menuntut ilmu, menyiarkan agama dan sebagainya.





7
F. Orang-orang yang Tidak Berhak Menerima Zakat

Sebagaimana telah dijelaskan, orang-orang yang berhak menerima zakat ada 8 golongan. Dan orang-orang yang tidak berhak menerima zakat ada 5 golongan. Sebagaimana penjelasan berikut ini :
1.            Orang kaya (harta dan usaha)
2.            Hamba Sahaya, karena mereka mendapatkan nafkah dari tuannya.
3.            Keturunan keluarga Rasulullah Saw.
Diriwayatkan dia oleh muslim dan Abu daud Khuzaimah dan Ibnu Hibban.

عن عبد المطا لب بن ربيعة بن الحا رث قال: قال رسول الله صم (ان الصدقت لآتنبغي لال معمد انما هي اوساح الناس

“ Dan Abdul Muth – thalib bin Rabiah bin Hants, Ia berkata : Telah bersabda Rasulullah SAW “ Sesungguhnya zakat itu tidak patut bagi keluarga Muhammad ( karena ) Ia tidak lain melainkan kotoran manusia”
4.            Orang yang tidak beragama Islam.
5.            Orang yang menjadi tanggungan orang yang mengeluarkan zakat seperti ibu, bapak, istri dan sebagainya.





8


ZAKAT FITRAH

  1. Pengertian
               Menurut KH. Imam Zarkasyi ( 1958:13 ), zakat fitrah ialah zakat badan yang wajib dikeluarkan pada hari raya fitrah ( 1 syawal ).
               Menurut Abubakar Muhammad ( 1991:539 ), Al Fithru ialah Al Ifthor ( sarapan pagi atau berbuka puasa ). Zakat fitrah dihubungkan dengan berbuka diakhiri bulan puasa karena hal itulah yang menjadi sebab zakat fitrah.
               Berdasarkan pengertian – pengertian di atas maka dapat kami simpulkan bahwa zakat fitrah adalah zakat badan yang wajib dikeluarkan diakhiri bulan puasa yang bertepatan dengan hari raya fitrah ( 1 syawal ).


عن انب عباس قال : فرضررسول الله صم : زكاة الفطر طهرة للصا ئم من اللغو, والرفث,وطعمة للمساكين, فمن اداها قبل الصلا ة فهي زكاة مفبو لة, ومن اذاها بعد الصلاة فهي صدقة من الصدقات (روه ابو داود وابن ماجه وصحه الحاكم)

“ Dan Ibnu Abbas ia berkata : Rasulullah SAW, telah fardlu kan zakat fitrah sebagai pembersih bagi yang shaum dari pada sisa – sisa dan kekotoran mulut dan sebagai makanan bagi orang – orang miskin. Barang siapa keluarkan dia sebelum shalat, maka ia itu satu zakat yang di terima, dan barang siapa keluarkan dia sesudah shalat, maka ia itu satu shadaqoh dan pada beberapa shodakoh “
( Diriwayatkan oleh Abu dawud dan Ibnu majah dan dishahkan oleh Hakim ).



9
  1. Syarat – syarat Wajib Zakat Fitrah
1.      Orang Islam
2.      Ada kelebihan makanan untuk keluarga pada hari itu
3.      Lahir sebelum terbenam matahari pada hari penghabisan bulan Ramadhan


  1. Banyak Sedikitnya Zakat Fitrah
               Untuk tiap – tiap seorang, zakatnya satu sha’ sama dengan sebanyak 2,305kg. ( dibulatkan 2,5kg ) dari pada beras atau lainnya yang menjadi makanan pokok dimasing – masing negeri.
               Waktu mengeluarkan zakat lebih utama sebelum sholat hari raya, boleh dikeluarkan semenjak permulaan bulan puasa sebagai ta’jil.


















10
PAJAK DAN ZAKAT


               Pada zaman Rasulullah dan Al-Khulafa’ al-rasyidun, zakat dikenakan kepada penduduk yang beragama Islam, sedang pajak ( tax ) dikenakan kepada penduduk yang non-Muslim. Tidak ada penduduk yang terkena double duties ( kewajiban rangkap ) berupa zakat dan pajak.
               Pada zaman tabi’in zaman imam – imam mazhab ( mujtahidin ) timbul perbedaan pendapat tentang tanah yang terkena pajak ( al-ardh al-kharajiyah ), karena pemiliknya non-Muslim pada waktunya negerinya ditaklukkan oleh pasukan Islam, kemudian ia masuk Islam, atau tanahnya dibeli oleh seorang Muslim. Timbul masalah : Apakah tanah yang terkena pajak itu juga terkena zakat, karena pemiliknya sekarang beragama Islam?
               Menurut jumhur, tanah tersebut wajib dizakati ( disamping kena pajak ) berdasarkan Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 267, yang menunjukkan wajib dizakati semua hasil bumi, baik tanahnya telah terkena pajak maupun tidak. Dan juga berdasarkan Hadis Nabi yang menunjukkan bahwa semua tanah yang mendapatkan air hujan ( tanpa biaya atau alat mekanik ) terkena zakat 10%, baik tanah yang terkena pajak maupun yang tidak.
               Selain dalil naqli berupa ayat dan Hadis tersebut di atas, jumhur juga menggunakan dalil aqli, antara lain bahwa ketetapan zakat atas hasil bumi itu berdassarkan nas Al- Qur’an dan Sunah, maka karena itu ketetapan zakat itu tidak bisa terhalang oleh ketetapan pajak yang hanya berdasarkan ijtihad.
               Menurut Abu Hanifah, tanah yang telah terkena pajak, tidak terkena zakat, sekalipun pemiliknya masuk Islam atau tanahnya dibeli oleh seorang Muslim. Alasan – alasan yang dikemukakan oleh Abu Hanifah antara lain adalah sebagai berikut :
  1. Hadis riwayat Ibnu Mas’ud bahwa Nabi bersabda :
      Tidak berkumpul zakat 10% dan pajak tanah milik seorang Muslim.
11
  1. Menurut riwayat, Darqan setelah masuk Islam, Khalifah Umar memerintahkan agar tanah Darqan diserahkan kepadanya dan dipungut pajaknya. Ini jelas bahwa Umar memerintahkan untuk memungut pajaknya saja bukan zakatnya.
  2. Para penguasa ( umara ) dan ulama tidak menyuruh untuk memungut zakat dan pajak bersama – sama pada tanah yang semula kena pajak.
  3. Yang menyebabkan adanya pajak dan zakat itu adalah sama ( satu ), ialah tanahnya subur dan dapat menghasilkan. Sebab apabila tidak menghasilkan apa – apa, tidaklah terkena pajak dan zakat. Dan apabila penyebabnya sama dan tanahnya juga sama ( satu ), maka tidaklah terkena dua beban, yakni pajak dan zakat, seperti halnya seorang yang memiliki sejumlah ternak yang telah mencapai nisabnya lalu diperdagangkan, maka ia tidak terkena dua macam zakat, ialah zakat ternak dan zakat perdagangan.
               Penulis cenderung kepada pendapat Abu Hanifah, sekalipun dari segi pengkajian Ilmu Hadis ( ilmu jarhi wat ta’dil ), Hadis Ibnu Mas’ud yang dijadikan salah satu dalil Abu Hanifah itu dipandang daif ( lemah ), sebab sesuai dengan asas mudah dan asas keadilan yang merupakan asas hukum Islam yang sangat diperhatikan dan dijunjung tinggi dalam syariat Islam. Sebab apabila tanah milik seseorang yang terkena pajak, karena ia non-Muslim, kemudian ia masuk Islam atas kemauan dan kesadarannya sendiri,atau tanah milik orang tersebut dibeli orang lain yang Muslim, apakah tidak memberatkan beban dan adilkah, jika pemiliknya yang telah masuk Islam atau pemiliknya yang baru yang Muslim itu dikenakan double duties ( pajak dan zakat ), sedangkan pemilik tanah – tanah yang lain yang beragama Islam hanya dikenakan wajib zakat tanpa pajak? Apakah policy pajak dan zakat semacam itu tidak menjadi hambatan bagi pengembangan dakwah Islamilah di kalangan masyarakat yang non – Muslim?
               Karena itu, menurut tampaknya lebih adil apabila bagi si pemilik tanah yang terkena pajak lalu masuk Islam, dan juga bagi seorang Muslim yang membeli tanah yang terkena pajak itu diberi kesempatan untuk memilih di antara dua alternative sebagai berikut :

12
  1. Cukup membayar zakatnya saja sebanyak 5% - 10% dari hasil tanahnya, sebab kewajiban pajak telah gugur, karena pemiliknya beragama Islam. Sebab illat hukumnya yang menyebabkan adanya kewajiban membayar zakat adalah pemilik non – Muslim ( sebagai imbangan kewajiban membayar zakat bagi pemilik tanah yang Muslim ). Hal ini sesuai dengan kaidah hukum :

الحكم يدور مع العللة وجود اوعدماُ


Hukum itu berputar atas illat hukumnya, ada / tidak adanya hukum. Artinya jika illatnya ada, hukum ada ; dan jika illatnya tidak ada ( situasi dan kondisi telah berubah ), maka hukumnya pun tidak ada.
  1. Cukup membayar pajak saja karena meneruskan status hukum tanah sebelumnya. Hal ini sesuai dengan dalil istishhab dan kaidah hukum yang berbunyi :

تغيرالا حكام بتغيرالارصنة والأمكنة والاحوال

Pada dasarnya meneruskan apa yang ada menurut keadaannya yang semula.
               Jadi, karena tanah itu secara historinya mempunyai status hukum sebagai tanah yang terkena pajak ( al – ardh al – kharajiyah ), maka pemiliknya yang kemudian pun tinggal meneruskan status hukumnya yang lama.
               Kini kita umat Islam di Indonesia dan juga di negara – negara Islam lainnya ( Negara Islam, ialah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti Mesir ) menghadapi masalah yang aktual mengenai pajak dan zakat. Yaitu kalau umat Islam di negara yang pemerintahannya tidak menangani langsung pengolahan zakat, seperti Indonesia, dan pemerintah memungut pajak yang jumlahnya melebihi jumlah zakatnya, tetapi pemerintah menggunakan sebagian pajak itu untuk semua atau sebagian dari delapan pos penggunaan zakat yang dapat diketahui GBHN, Pelita, dan APBN-nya, maka apakah pembayaran zakatnya bisa diniati sebagai pembayaran zakatnya, atau dicari jalan
13
keluar lain untuk menghindari double duties yang bisa memberatkan.
               Sebelum menjawab masalah ini, penulis ingin menggambarkan sedikit tentang perbedaan persentase pajak dan zakat di Indonesia, ialah sebagai berikut :
Pajak Penghasilan
Penghasilan neto 1 tahun dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak ( PTKP ).
Kemudian Penghasilan Kena Pajaknya ( PKP ) adalah sebagai berikut :
- sampai dengan Rp 10.000.000,00                                        15%
- di atas Rp 10.000.000,00 s.d. Rp 50.000.000,00                 25%
- di atas Rp 50.000.000,00                                                      35%
Contoh:
Agus adalah seorang pedagang mempunyai penghasilan neto tahun 1986 sebesar Rp 10.000.000,00. Wajib pajak berstatus kawin dan mempunyai 3 anak, sedangkan istrinya tidak mempunyai usaha, maka penerapan tarif pajaknya adalah sebagai berikut :
Penghasilan neto 1 tahun                                            = Rp 10.000.000,00
Penghasilan Tidak Kena Pajak                                    = Rp   2.880.000,00
                                                                                        _______________
Penghasilan Kena Pajak                                              = Rp   7.120.000,00
Pajak Penghasilannya ialah :
15% x Rp 7.120.000,00                                              = Rp 1.068.000,00

Zakat Penghasilan
Zakat penghasilan bervariasi antara 2,5% sampai 20% tergantung kepada jenis usahanya. Kalau usahanya perdagangan seperti Agus pada contoh tersebut di atas, maka zakatnya adalah 2,5% dari penghasilan neto 1 tahun yang dimiliki secara penuh ( milkun tam, bhs. Arab ), artinya telah melibihi kebutuhan pokok hidup keluarga serta bebas dari utang.
Contoh :
Ibrahim, seorang pedang apel mempunyai penghasilan neto 1 tahun Rp 10.000.000,00. Pada pembukuan setahun masih ada utang Rp 1.000.000,00 ; maka zakatnya adalah :
2,5% x Rp 9.000.000,00 = Rp 225.000,00

14
Kalau Agus pada contoh pertama telah membayar pajak 15% dari penghasilan neto 1
tahun, yang melebihi ketentuan zakat yang hanya 2,5%, apakah sah zakatnya apabila pajak yang disetor Agus ke kantor Pajak itu diniati pembayaran zakatnya sekaligus?Jawabannya dengan tegas “tidak”, karena antara zakat dan pajak terdapat perbedaan – perbedaan yang cukup mendasar, antara lain sebagai berikut :
  1. Beda dasar hukumnya. Dasar hukum zakat adalah Al-Qur’an dan Sunah ; sedangkan dasar hukum pajak adalah peraturan perundang – undangan, seperti UU pajak dan sebagainya.
  2. Beda status hukumnya. Zakat adalah suatu kewajiban terhadap agama, sedangkan pajak adalah suatu kewajiban terhadap negara.
  3. Beda obyek / sasarannya. Wajib zakat adalah khusus orang – orang yang beragama Islam, sedangkan wajib pajak adalah semua penduduk tanpa pandang agamanya.
  4. Beda kriteria wajib zakat dan wajib pajak. Kriteria kekayaan dan penghasilan yang terkena zakat dan pajak dan juga persentasenya tidaklah sama. Misalnya persentase penghasilan yang dizakati adalah antara 2,5% - 20% tergantung jenis usahanya yang sudah ditentukan kadarnya dan tidak bisa berubah – ubah ; sedangkan persentase penghasilan yang terkena pajak di Indonesia dewasa ini sekitar 15% - 35%. Dan sudah tentu kriteri wajib pajak dan juga besarnya tarif pajaknya ( persentasenya ) bisa berubah – ubah.
  5. Beda dalam pos – pos penggunaannya. Zakat hanya boleh digunakan untuk delapan pos / ash naf yang sudah ditentukandalam Al-Qur’an Surat Al-Taubah ayat 60, sedangkan pajak digunakan untuk pos – pos yang sangat luas.
  6. Beda hikmahnya. Hikmah zakat terutama untuk membersihkan / menyucikan jiwa dan harta benda si muzakki, untuk memeratakan pendapatan di kalangan masyarakat ( agar tidak hanya dinikmati oleh orang – orang kaya saja ), dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat ; sedangkan hikmah pajak adalah untuk membiayai pembangunan nasional guna mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila yang diridai Allah.
              
15
               Hanya, meskipun antara zakat dan pajak terdapat perbedaan – perbedaan yang cukup mendasar seperti yang diuraikan di atas, namun, agar umat Islam di Indonesia bisa menjadi warga negara yang baik dan sekaligus menjadi Muslim yang baik, maka setelah pemerintah Republik Indonesia dapat melaksanakan pengelolaan zakat karena telah memiliki seperangkat peraturan perundang – undangan yang menjadi dasar hukum operasioanalnya seperti undang – undang zakat dan sebagainya, hendaknya pemerintah berkenan memberi dispensasi berupa pemotongan / pengurangan pajak bagi wajib pajak Muslim yang benar – benar telah menyerahkan zakatnya kepada Baitul Mal ( State Treasury / Islamic Finance House ) yang dibentuk oleh pemerintah. Dispensasi semacam ini kiranya bisa dijalankan untuk menghindari double duties yang memberatkan umat Islam, karena sistem perpajakan sekarang ( berdasarkan Undang – undang Pajak nomor 6 tahun 1983 dan Undang – undang Pajak nomor 7 tahun 1983 ) juga memberi dispensasi kepada misalnya pegawai negeri berupa pemotongan / pengurangan pajak berdasarkan 21 dan 22 PPH.
















16
Anggaran Belanja Negara Islam : Pajak dan Zakat      
                Mengeluarkan sebagian harta zakat yang digunakan untuk membantu golongan dhuafa (lemah), merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan setiap Muslim. Zakat, selain dinamakan ibadah vertical, juga merupakan ibadah horizontal yang mengandung arti bahwa zakat mempunyai misi pengentasan kemiskinan guna menciptakan masyarakat adil dan makmur.
                Sebenarnya fungsi zakat pada awal kerasulan lebih ditekankan pada kepedulian atas kesejahteraan masyarakat dalam tingkat regional (daerah). Dalam hadist diceritakan, ketika Mu'az bin Jabal diutus ke Yaman , Nabi Muhammad saw bersabda:"Ambillah sebagian harta orang-orang kaya dalam wilayah tersebut, untuk dijadikan dana bantuan orang-orang miskin diwilayah lain".
                Hadist ini menggambarkan bahwa Islam sangat memperhatikan peningkatan taraf hidup masyarakat berdasarkan territorial, sepanjang satu daerah itu sudah terbentuk sistem pemerintahan yang legal dan mempunyai  sumber ekonomi yang mandiri, daerah tersebut bisa mengelola dana zakat daerah dan bisa memenuhi kebutuhan hidup masyarakat lemah didaerahnya. Dan perlu diingat, zakat hanya diterapkan bagi mereka yang mampu, bagi yang tidak mampu mereka malah berhak menerima zakat.  Berbeda halnya dengan pajak, yang dalam penerapannya tidak memandang masyarakat itu mampu / tidak mampu.
                Didalam perundang-undangan Indonesia, zakat dipetakan dalam UU NO.38 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan UU NO.22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.
Pajak dan  Zakat
Pajak hakikatnya adalah merupakan kewajiban bagi setiap anggota masyarakat yang ada pada suatu Negara . Secara ekonomi, pajak mengakibatkan penurunan permintaan (demand) . Sehingga jika berkaca dari sejarah, Amerika Serikat sebagai suatu negara yang baru lahir di tahun 1800, mengalami pertumbuhan yang sangat pesat hingga 1900-an hanya karena negeri ini rendah pajak. Saat itu , Amerika menjadi suaka pajak rendah,  sehingga menarik para wiraswastawan dari seluruh dunia yang ingin kaya dengan cepat .
17
Namun sayangnya , saat ini dibelahan manapun didunia, pajak merupakan sumber pemasukan yang terbesar bagi kas Negara,  termasuk Indonesia. Padahal kita tahu, pemaksimalan pendapatan dari pajak justru merusak iklim investasi
Zakat
Berbeda halnya dengan zakat, tujuan zakat adalah untuk meningkatkan produktifitas dunia usaha, sehingga dengan didorongnya sektor usaha, maka akan mendorong terjadinya peningkatan ekonomi dan pada saatnya akan menngkatkan pemerataan tingkat kesejahteraan masyarakat secara umum .
Zakat menggantikan Pajak ?
Dalam ekonomi kekinian , sumber pemasukan Negara salah satunya adalah dengan memungut pajak selain membuka unit bisnis seperti BUMN dan meminjam uang ke Negara tetangga.
Tetapi jelas, langkah paling mudah dan paling cepat bagi negar untuk mendapatkan uang adalah : Memungut Pajak . Pajak dikenakan dalam  berbagai bentuk seperti pajak pendapatan, pajak penjualan dan pajak bumi dan bangunan.
 Nah, bagaimana hal dengan zakat, dan bagimana penerapannya dalam sebuah lingkup makro seperti Negara ?
Dalam pemerintahan Islam ada beberapa sumber pemasukan negara :
  1. Zakat
    1. Zakat Pendapatan
Zakat pendapatan dihitung dari pendapatan minimum, ( nisabnya sekitar 1,8 juta rupiah) , jika pendapatan kita melewati nisab tersebut, maka wajib mengeluarkan zakat 2,5 %.
    1. Zakat peternakan
Zakat ini diukur secara regresif, artinya semakin banyak jumalah hewan
18
peliharaan yang kita miliki, semakin kecil persentase zakat yang kita
keluarkan . Pnerapan zakat malah memacu terjadinya peningkatan ekonomi/ ekonomi of scale, karena para pengusaha ternak malah berlomba-lomba meningkatkan jumlah ternaknya.
Zakat Pertanian
        Zakat pertanian sistemnya flat rate, yang membedakannya hanya system pengairannya, dasar pertimbangnnya, jika hasil pertanian melimpah seperti peternakan, dikhawatirkan hasil produksi akan melimpah dan membusuk . Secara mikroekonomi, tidak ada pengaruh zakat terhadap penawaran, karena zakat diterapkan dalam bentuk quasi rent, bukan dalam bentuk value added tax (pajak pertambahan nilai) sebagaimana halnya di Indonesia. Artinya dengan memaksimumkan pajak, tingkat keuntungan juga akan meningkat .
        Jadi bisa disimpulkan, zakat mempunyai pengaruh positif bagi pertumbuhan ekonomi,   pajak sebaliknya .

KHUMS
Khums adalah  bahagian untuk Negara yang berasal dari bahan tambang, atau harta rampasan perang, nilainya adalah tetap yaitu 20 %.
JIZYA
Jizya adalah pajak yang mesti dibayarkan warga non muslim, sebagai kompensasi atas fasilitas publik yang mereka dapatkan. Jumlah yang mesti dibayarkan sama dengan jumlah zakat fitrah yang dibayarkan seorang mulim(ingat: non muslim tidak bayar zakat fitrah)
KAFFARAH
Kaffarah adalah uang denda, segala macam pelanggaran warga Negara, baik itu terhadap hukum agama maupun hukum Negara yang nilainya dinyatakan dalam bentuk harta, dimasukkan ke sektor ini.
Selain itu, orang yang meninggal tanpa memiliki ahli waris, harta warisnya juga dimasukkan ke kas Negara
19
Bagaimana Mengalokasikannya ?
Dari dana yang terkumpul di kas negara/baitul maal ini dialokasikan kemereka yang berhak menerimanya . Secara ilmu klasik ada 8 ashnaf yang berhak merimanya, yakni :
a. Fakir
b. Miskin  
                              c. Muallaf
                              d. Riqab/melepaskan perbudakan
                               e. Gharimin/berutang
                               f. Fisabilillah
                               g.  Ibnus sabil/pelajar yang kehabisan bekal/musafir
                               h. Pengelola zakat
Nah bagimana dalam teori kekinian, kita mengalokasikan dana zakat ?
Dalam penerapannya ke APBN Negara Islam , zakat dan sumber pemasukan lainnya ditujukan untuk
a. Penyebaran Islam , keseluruh pelosok negeri, membiayai ustadz dan para alim ulama dalam penyebaran   agama.
b. Pendidikan dan kebudayaan,
Pembangunan infrasturkutur dan peningkatan kesejahteraan para guru.
c. Perkembangan ilmu pengetahuan,
Memberikan dana untuk riset dan penelitian ilmu pengetahuan dan tekhnologi .
d. Pembangunan infrastruktur, seperti jalan, jembatan, pembangunan kota dan lain sebagainya .
e. Pembangunan armada perang
d Penyediaan armada dan perlengkapan untuk pembelaan Negara dan pembayaran gaji TNI dan Polri .  
e. Penyediaan layanaan social .
Memberikan bantuan untuk para fakir miskin, penyediaan rumah sakit yang representtif, rumah murah, dan berbagai area social lainnya yang bertujuan untuk membantu mereka yang belum beruntung secara ekonomi .

20
 f. Peningkatan kesejahteraan pegawai negeri .
g. Pemberian kredit bagi para pengusaha-pengusaha kecil yang ingin memperluas usahanya.
                Jadi, Jikalau negeri ini menghijrahkan sistem perekonomiannya ke sistem Islami, Insya Allah bisa. Sistem pajak yang saat ini hidup  dan berkembang di belahan mapun didunia ini, ternyata menyebabkan penurunan aktifitas ekonomi, berbeda dengan zakat yang malah mendorong terjadinya produktifitas dan pembangunan ekonomi. Wallahu Alam  
  




















21
BAB III
KESIMPULAN

            Sehubungan dengan harta manusia terbagi pada tiga tingkatan :
1.
Sanggup mengorbankan hartanya untuk keperluan dirinya sendiri, untuk menolong orang yang susah, membantu kemaslahatan dan kemajuan agama, kemakmuran bangsa dan tanah air.
2.
Tidak sanggup membelanjakan hartanya kecuali untuk kesenangan dan kemegahan hawa nafsunya sendiri.
3.
Orang yang telah diberi rizki oleh Allah, mendapat harta banyak, sedangkan dia tidak mengambil manfaatnya, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain, hanya dikumpulkan dan dijaganya supaya jangan keluar dari tangannya.
            Maka Allah mewajibkan mengeluarkan zakat untuk dapat diambil hikmah dan faedahnya guna perbaikan perseorangan dan masyarakat. Diantaranya mendidik jiwa suka memberi, membersihkan jiwa dari sifat kikir, menolong fakir miskin, menjaga timbulnya rasa dengki, menegakkan serta memuliakan agama Allah, menjaga hubungan baik dan memperkokoh persaudaraan dikalangan umat.





















22
DAFTAR PUSTAKA


Abbas, Siradjuddin. 40 Masalah Agama. Pustaka Tarbiyah, Jakarta : 1997.
Djazuli. Ilmu Fiqh. Kencana Prenada Media Group, Jakarta : 2006.
Hasbi, Muhammad. Pengantar Ilmu Fiqh. Pustaka Rizki Putra, Semarang : 1997.
Hassan, A. Bulughul Maram. Diponegoro, Bandung : 1999.
Muhammad, Abubakar. Terjemahan Subulus Salam. Al-Ikhlas, Surabaya : 1991
Nawawi, Imam. Riyadhush Shalihin. Irsyad Baitus Salam, Bandung : 2006.
Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Sinar Baru Algesindo, Bandung : 1994.
Rusyd, Ibnu. Tarjamah Bidayatul Mujtahid. Asy-Syifa, Semarang : 1990.
Yahya Mukhtar & Faturrahman. Dasar – dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami. Al-Ma’rif. Bandung : 1993.
Zarkasyi, Imam. Fiqih 1 dan 2. Trimurti Press, Surabaya : 1958.
Zuhdi, Masjfuk. Masail Fiqhiyah. Midas Surya Grafindo, Jakarta : 1997.
Karim, Adiwarman , Ekonomi Islam Suatu Kajian Ekonomi Makro, Jakarta : The International Institute of   Islamic Thought Indonesia, 2002
Chapra , Umer, Islam dan Tantangan Ekonomi, Jakarta: Gema Insani Pers, 2000
Kiyosaki, Robert, Rich Dad’s: Guide to Investing , Jakarta; Gramedia Pustaka Utama, 2003.












23