Jumat, 25 Maret 2011

Hadist Maudhu

REVISI MAKALAH
Ilmu Hadits

A.                Latar Belakang Masalah
Masalah hadits maudhu berawal dari pertentangan politik yang terjadi pada masa khalifah Ali Bin Abi Thalib yang berujung pada pembuatan hadits-hadits palsu yang tujuannya adalah untuk mengalahkan lawan dan mempengaruhi orang-orang tertentu. Akibat perpecahan politik ini, hampir setiap golongan membuat hadits maudhu untuk memperkuat golongannya masing-masing.
Ulumul hadits merupakan suatu ilmu pengetahuan yang komplek dan sangat menarik untuk diperbincangkan, salah satuanya adalah mengenai hadits maudhu yang menimbulkan kontrofersi dalam keberadaannya. Suatu pihak menanggapnya dengan apa adanya, ada juga yang menanggapinya dengan beberapa pertimbangan dan catatan, bahkan ada pihak yang menolaknya secara langsung.
Kemudian kami sebagai Mahasiswa yang dituntut untuk mengkaji dan memahami polemik problematika umat yang salah satunya ditimbulkan dari adanya hadits maudhu. Oleh karena itu kami sangat tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang masalah tersebut, dan motivasi lain tentunya tidak terlepas dari suatu bentuk usaha kami dalam perbaikan makalah ulumul hadits ini.

B.                 Rumusan Masalah
1.         Apa yang dimaksyud dengan hadits maudhu?
2.         Mengapa muncul hadits maudhu?
3.         Bagaimana realitas hadis maudhu?
BAB II
PEMBAHASAN

A.                Pengertian Hadits Maudhu
            Majid Khon (2005:167) menyatakan bahwa pengertian hadits maudhu secara etimologi (bahasa) merupakan bentuk isim maf’ul dari wadha’a. kata tersebut memiliki makna menggugurkan meninggalkan, dan mengada-ada. Sedangkan menurut Muhammad Ahmad, dkk (2000:152) hadits maudhu berarti hadits palsu atau hadits yang dibuat-buat. Jadi secara bahasa hadits maudhu dapat kami simpulkan yaitu hadits palsu yang diada-adakan atau dibuat-buat.
            Menurut terminologi (istilah) hadits maudhu terdapat beberapa pengertian, diantaranya menurut Fatchur Rohman (1974:168) hadits maudhu adalah:
وَ اْلمُخْتَلَعُ الَُْْصْنُوْعُ اْلمَنْصُوْبُ اِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زُوْرًا وَبُهْتَانًا وَاءٌ كَانَ ذَلِكَ عَمْدًا اَمْ خَطَأً
“Hadits yang dicipta serta dibuat oleh seseorang (pendusta), yang ciptaan itu dibangsakan kepada rosulluloh saw. secara palsu dan dusta, baik hal itu disengaja, maupun tidak “.
            Pengertian diatas sejalan dengan pendapat Majid Khon, dkk.  (2005:167) hadits maudhu adalah “sesuatu yang dinisbahkan kepada Rasulullah saw. secara mengada-ada dan dusta, yang tidak beliau sabdakan, beliau kerjakan,  ataupun beliau tetepkan”. Sedangkan menurut Munzier Suparta (2006:176) memiliki pengertian yang sama persis dengan Fatchur Rohman. Kemudian menurut Mudasir (2007:170) dalam bukunya “Ilmu Hadits” menyatakan bahwa hadits maudhu adalah “hadits yang disandarkan kepada rosullulloh saw. secara dibuat-buat dan dusta padahal beliau tidak mengatakan dan tidak memperbuatnya. Sebagian mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hadits maudhu adalah hadits yang dibuat-buat”. Selanjutnya pengertian hadits maudhu menurut. Endang Soetari (2005:132) hadits maudhu adalah hadits yang matannya idhafah pada selain Alloh swt.  Dan menurut Muhammad Ahmad, dkk. (2000:152) menyatakan bahwa para ulama memberikan batasan hadits maudhu yaitu hadits yang bukan hadits Rasulullah saw. tetapi disandarkan kepada beliau oleh orang secara dusta dan sengaja atau secara keliru tanpa sengaja.
            Dari berbagai pengertian diatas kami menyimpulkan bahwa yang dimaksud hadits maudhu adalah hadits palsu yang dibuat oleh seseorang dan disandarkan kepada Rasulullah saw. secara dusta, padahal pada kenyataannya hadits tersebut jelas bukan berasal dari perkataan dan perbuatan Rasulullah saw. juga apabila dilihat dari segi matannya tidak idhafah kepada Allah swt. 
B.                 Sebab Kemunculan Hadis Maudhu
            Atang Abdul Hakim, dkk. dalam bukunya ”Metodologi Studi Islam.“ Umat Islam sepakat bahwa hadits merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an. Maka dari itu kita harus mempelajarinya supaya tidak timbul kesalah pahaman apalagi yang menjurus kepada permasalahan hadits maudhu.
            Muhammad Ahmad, dkk. Dalam bukunya yang berjudul “Ulumul Hadits” menyatakan bahwa hadits maudhu merupakan seburuk-buruk hadits daif. Siapa yang mengetahui kepalsuan suatu hadits, maka ia tidak boleh meriwayatkannya dengan menyandarkan kepada Rasululullah saw, kecuali dengan maksud menjelaskan kepalsuannya. Oleh karena itu menurut hemat tim penulis kita harus mengetahui sejarah latar belakang kemunculan hadits maudhu tersebut supaya kita mengetahui motif-motif apa saja yang mendorong mereka untuk membuatnya.
            Nurcholish Majid, dalam bukunya ”Khazanah Intelektual Islam” (1984:11) mengatakan bahwa pertentangan yang semakin memuncak antara kelompok Ali di Madinah dan Mu’awiyah di Damaskus terjadi peperangan yang tidak bisa terelakan lagi. Menurut hemat tim penulis kejadian tersebut merupakan salah satu latar belakang terjadinya pembuatan hadits maudhu juga.
            Menurut Mudasir (2008:173) dalam bukunya yang berjudul “Ilmu Hadits” menyatakan bahwa berdasarkan data sejarah, pemalsuan hadits tidak hanya lakukan oleh orang-orang Islam, tetapi juga dilakukan oleh orang-orang non-Islam. Ada beberapa motif ( latar belakang) yang mendorong mereka membuat hadits palsu yaitu sebagai berikut:
1.        Pertentangan politik
Pertentangan politik ini terjadi karena adanya perpecahan antara golongan yang satu dengan golongan yang lainnya, dan mereka saling membela golongan yang mereka ikuti serta mencela golongan yang lainnya. Seperti yang terjadi pada polemik pertentangan Ali dan Muawiyah sehingga terjadi golongan syi’ah, khawariz, dan mu’awiyah yang berujung pada pembuatan hadis palsu sebagai upaya untuk memperkuat golongannya masing-masing.
2.      Usaha kaum zindiq
Menurut Mudasir (2008:175) kaum zindiq adalah golongan yang membenci Islam, baik sebagai agama ataupun sebagai dasar pemerintahan. Mereka merasa tidak mungkin dapat melampiaskan kebencian melalui konfrontasu dan pemalsuan Al-Qur’an, sehingga menggunakan cara yang paling tepat dan memungkinkan, yaitu melakukan pemalsuan hadits, dengan tujuan menghancurkan agama islam dari dalam.
Jadi, latar belakang kaum zindiq tersebut adalah supaya terjadi fitnah dalam islam dan akhirnya mengalami kehancuran, sehingga merekalah yang berjaya di muka bumi ini.
3.      Sikap fanatik buta terhadap bangsa, suku, bahasa, negeri, dan pimpinan
Menurut Mudasir (2008:175) menyatakan bahwa salah satu tujuan membuat hadits palsu adalah adanya sifat ego dan fanatik buta serta ingin menonjolkan seseorang, bangsa, kelompok, dan sebagainya.
Jadi sikap tersebut ini bertujuan ingin menonjolkan atau memojokkan seseorang, bangsa, kelompok, pemimpin dan sebagainya. Itu disebabkan karena   kebencian, bahkan balas dendam semata.
4.      Mempengaruhi kaum awam dengan kisah dan nasihat
Menurut Mudasir (2008:176) kelompok yang melakukan pemalsuan hadits ini bertujuan untuk memperoleh simpati dari pendengarnya sehingga mereka kagum melihat kemampuannya.
Jadi pada intinya mereka membuat hadits yang disampaikan kepada yang lainnya terlalu berlebih-lebihan dengan tujuan ingin mendapat sanjungan.
5.      Perselisihan dalam fiqih dan ilmu kalam
Menurut Mudasir (2008:176) munculnya hadits-hadits palsu dalam masalah-masalah fiqih dan ilmu kalam ini berasal dari para pengikut madzhab. Mereka melakukan pemalsuan hadits karena didorong sifat fanatik dan ingin menguatkan madzabnya masing-masing.
6.      Membangkitkan gairah beribadah, tanpa mengerti apa yang dilakukan
Menurut Mudasir (2008:177) banyak diantara para ulama yang membuat hadits palsu dengan asumsi bahwa usahanya itu merupakan upaya mendekatkan diri kepada Allah dan menjunjung tinggi agama-Nya.
Jika dilihat dari tujuannya, itu merupakan suatu kebaikan, tetapi alangkah bijaknya jikalau kita mempertimbangkannya bahwa hal itu bukan merupakan hadits yang datang dari Rasulullah saw. tetapi merupaka kata-kata bijak yang dapat dijadikan motivasi untuk meningkatkan amaliyah ibadah kita.
7.      Menjilat penguasa
Cara ini digunakan untuk menarik simpatisan dari penguasa karena ingin mendapatkan sesuatu yang berharga seperti yang dilakukan oleh Giyas bin Ibrahim.
Menurut Mudasir (2008:178) pada dasarnya ada beberapa motif pembuatan hadits palsu diatas, dapat dikelompokan sebagai berikut:
a.         Ada yang disengaja,
b.         Ada yang disengaja merusak agama,
c.         Ada yang karena merasa yakin bahwa membuat hadits palsu diperbolehkan,
d.        Ada yang karena tidak tahu gila dirinya membuat hadits palsu.
Dapat disimpulkan bahwa pada kenyataannya mereka membuat hadits maudhu (palsu) itu mempunyai kepentingan dan maksyud tersendiri yang motifnya berbeda-beda disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang mereka butuhkan saat itu.
C.                Realitas Hadits Maudhu
1.    Tanggapan Para Ulama Tentang Hadits Maudhu
       Menurut Mudasir (2007:171) dalam bukunya Ilmu Hadits menyatakan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang kapan mulai terjadinya pemalsuan hadits. Berikut ini akan dikemukakan pendapat mereka.
a.         Menurut Ahmad Amin bahwa hadits maudhu terjadi sejak masa Rasulullah saw. masih hidup. Alasan yang dijadikan argumentasi adalah sabda Rasulullah saw. Kandungan dari hadits tersebut menggambarkan bahwa kemungkinan pada zaman Rasulullah telah terjadi pemalsuan hadits. Pendapat itu hanya berupa dugaan semata karena tidak terdapat pula dalam kitab-kitab hadis standar seperti Asbabul Wurud. Jadi kebenarannya disangsikan.
b.         Shalah Ad-Din Ad-Dabi mengatakan bahwa pemalsuan hadits berkenaan dengan masalah keduniawian telah terjadi  pada masa Rasulullah saw. Alasan yang dia kemukakan berlandaskan pada hadits AtThawi dan Tabrani yang kandungannya menceritakan ada seseorang yang mengaku diutus nabi padahal nyatanya ia berbohong. Tetapi hadits tersebut memiliki sanad dhaif (lemah) jadi riwayat tersebut masih diragukan.
c.         Menurut jumhur ulama Al-Muhaddisin, pemalsu hadits terjadi pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Menurut mereka, hadits-hadits   zaman Nabi hingga sebelum terjadinya pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan masih terhindar dari pemalsuan, begitupun ketika masa shabat Khulafaur Rasyidin yang sebelumnya.
Jadi intinya hadits maudhu itu menurut jumhur ulama terjadi ketika masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib yang pada ujunngnya bermotifkan kepentingan politik.
                        Menurut  Abuy Sodikin (2000:64) dalam bukunya yang berjudul “Metodologi Studi Islam” menyatakan bahwa perlu dikemukakaan dalam berpegang kepada hadits, untuk menentukan suatu hukum terhadap sesuatu masalah, perlu dilihat bahwa kedudukan hadits sebagai sumber ajaran Islam, tidak sekuat Al-Qur’an. Mengingat bahwa hukum dalam Al-Qur’an adalah qath’i, sedangkan hadits adalah dzhanny, kecuali hadits itu mutawatir. Karena itu menurut tim penulis sangat perlu sekali untuk mengidentifikasi hadits supaya jelas apakah hadits itu shahih, hasan, dha’if atau bahkan maudhu.
Berdasarkan hasil membaca dan pemahaman kami setelah membaca beberapa buku sumber bahwa hadits maudhu itu dapat diidentifikasi dengan kaidah-kaidah yang telah disepakati oleh para ulama ahli hadits.
Menurut Fathur Rahman (1974:169) menerangkan bahwa ciri-ciri hadist maudhu sebagaimana para ulama menciptakan kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan untuk mengetahui sahih, hasan, atau daifnya suatu hadist, mereka juga menentukan ciri-ciri untuk mengetahui kemaudhuan satu hadist. Mereka menentukan ciri-ciri yang terdapat pada sanad dan ciri-ciri yang terdapat pada matan hadis, yaitu sebagai berikut:
a.         Ciri-ciri yang Terdapat pada Sanad
Ciri-ciri yang terdapat pada sanad, ialah:
1.         Pengakuan dari pembuat hadits itu sendiri
Hal ini seperti pengakuan seorang guru Tashawuf, ketika ditanya oleh Ibnu Isma’il tentang keutamaan ayat-ayat Al-Qur’an, serentak menjawab:
لَمْ يُحَدِّثْنِى اَحَدٌ وَلَكِنَّا رَأيْنَا النَّاسَ قَدْ رَغِبُوْا  عَنِ اْلقُرْآنِ فَوَضَعْنَا لَهُمْ هَذَا اْلحَدِيْثَ لِيَصْرِفُوْا قُلُوْبُهُمْ اِلَى الْقُرْ آنِ

 “Tidak seorang pun yang meriwayatkan hadist kepadaku. Akan tetapi serentakkami melihat mansia-mansia sama membenci Al-Qur’an, kamiciptakan untuk mereka hadist ini (tentangkeutamaan ayat-ayat Al-Qur’an), agar mereka menaruh perhatian untuk mencintai Al-Qur’an.”
b.      Qarinah-qarinah yang memperkuat adanya pengakuan membuat hadits maudhu
Misalnya seorang  rawi mengaku menerima hadits dari seorang guru, padahal ia tidak pernah bertemu dengan guru tersebut. Atau menerima dari seorang guru yang telah meninggal dunia sebelum ia dilahirkan.
c.     Qarinah-qarinah yang berpautan dengan tingkah-lakunya.
Seperti apa yang pernah dilakukan oleh Ghiyats bin Ibrahim, di kala ia berkunjng ke rumah Al-Mahdy yang tengah bermain dengan burung merpati. Katanya:
لاسَبَقَ اِلا فِىْ نَصْلٍ اَوْ خُفٍ اَوْ حَافِرٍ اَوْ جَنَاحٍ
 “Tidak sah perlombaan itu selain: mengadu anak panah, mengadu unta, mengad kuda, atau mengadu burung.”
Perkataan au janahin atau mengadu burung adalah perkataan Ghiyats sendiri, yang dengan sepontan ia tambahkan di akhir hadits yang ia ucapkan, dengan maksud untuk membesarkan hati, atau setidak-tidaknya, membenarkan tindakan Al-Mahdy yang sedang melombakan burung.
d.        Ciri-ciri yang Terdapat pada Matan
Ciri-ciri yang terdapat pada matan itu, dapat ditinju dari segi makna dan dari segi lafadhnya. Dari segi maknanya, maka makna hadits itu bertentangan dengan: Al-Quran, dengan hadits mutawatir, dengan ijma’ dan dengan logika yang sehat.
Contoh hadits maudhu yang maknanya bertentangan dengan Al-Quran, ialah hadits:
وَلَدُ الزِّنَا لايَدْخُلُ اْلجَنِّةَ اِلَى سَبْعَةِ اَبْنَاءٍ
Anak zina itu,tidak dapat mask surga, sampai tujuh keturunan.”
Makna hadits ini bertentangan dengan kandungan surat Al-An’am  ayat 164, yang berbunyi:
وَلا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى
“Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.”
Kandungan ayat tersebt menjelaskan bahwa dosa seseorang tidak dapat dibebenkan kepada orang lain,sampai seorang anak sekalian tidak dapat dibebani dosa orang tuanya.
Contoh lain seperti hadits yang menjelaskan umur dunia:
مِقْدَارُ الدُّنْيَا سَبْعَةُ آلالْفِ سَنَةٍ ، وَيَجِئُ فِى اْلالْفِ السَّابِعَةِ
 “Umur dunia itu 7000 tahn, dan sekarang datang pada ribuan yang ketujuh.”
Hadits tersebut adalah sedusta-dusta hadits. Sebab andaikata hadits itu benar,niscaya orang sekarang ini tinggal beberapa puluh tahun saja. Padahal Allah telah menjelaskan bahwa hanya beliau sendiri yang mengetahi kapan datangnya hari kiamat itu.firman-Nya:
يَسْئَلُوْنَكَ عَنِ السَّاعَةِ اَيَّانَ مُرْسَاهَا، قُلْ اِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّى لايُجَِّلْيهَا لِوَقْتِهَا اِلا هُوَ
“Mereka menanyakan kepadamu  tentang hari kiamat. ‘Bilakah terjadinya’? sesungguhnya pengetahuan tentang hari kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku, tidak seorang pun yang dapat menjelaskan kedatangan hari kiamat, selain dari Dia.” (Al-A’raf:187)
Contoh hadist maudhu yang bertentangan dengan Snnah Mutawatirah ialah hadist yang memuji orang-orang yang memakai nama Muhammad atau Ahmad:
وَاِنَّ كُلَّ مَنْ يُسَمَّى بِهَذِهِ اْلاسْمَاءِ  (محمد واحمد) لايَدْخُلُ النَّارَ
 “Bahwa setiap orang dinamakan dengan nama-nama (Muhammad, Ahmad dan semisalnya) ini, tidak akan dimasukkan di neraka.”
Hadist tersebut adalah bertentangan dengan sunnah-snnah Rasulullah saw. yang menerangkan bahwa neraka itu tidak dapat ditebus dengan nama-nama tersebut, akan tetapi keselamatan dari mereka itu karena keimanan dan amal saleh.
Contoh hadist-hadist maudhu yang bertentangan dengan ijma’, ialah hadist-hadist yang dikemukakan oleh golongan Syi’ah, tentang wasiat Rasulullah kepada ‘Ali r.a. untuk menjadi Khalifah, yang menurut mereka bahwa sahabat bersepakat untuk membekukan wasiat tersebut.
اََنَّهُ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَخَذَ بِيَدِ عَلِى بْنِ اَبِِى طَالِبٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ بِمَحْضَرٍ مِنَ الصَّحَابَةِ كُلِّهِمْ ، وَهُمْ رَاجِعُوْنَ مِنْ حُجَّةِ الْوََدَاعِ، فَاَقَامَهُ بَيْنَهُْمْ حَتَّى عَرَفَهُ الْجَمِيْعِ، قَالَ هَذَا وَصِى وَاَخِى وَالْخَلِيْفََةُ بَعْدِى فَاسْمَعُوْا وَاَطِيْعُوْا
“Bahwa Rasulullah saw memegang tangan ‘Ali bin Abi Thalib r.a. di hadapan para sahabat seluruhnya, yang baru kembali dari haji wada’. Kemudian Rasulullah saw membangkitkan ‘Ali, sehingga para sahabat mengetahui semuanya. Lalu beliau bersabda: ‘Ini adalah wasiatku (orang yang saya beri wasiat) dan saudaraku, serta khalifah setelah saya nanti. Oleh karena itu dengarlah dan taatilah ia’.”
Hadist tersebut adalah maudhu, karena bertentangan dengan ijma’ seluruh umat, bahwa Rasulullah saw. tidak menetapkan (menunjuk) seorang pengganti sesudah beliau meninggal dunia. Dari segi lafadhnya. Yaitu bila susunan kalimatnya tidak baik serta tidak fasih. Termasuk dalam hal ialah susunan kalimat yang sederhana, tetapi isinya berlebih-lebihan. Umpamanya berisikan pahala yang besar sekali bagi amal perbuatan yang sedikit (kecil). Misalnya hadist maudhu:
لُقْمَةٌ فِى بَطْنِ جَائِعٍ اَفْضَلُ مِنْ بِنَاءِ اَلْفِ جَامِعٍ
 “Sesuap makanan di perut si lapar, adalah lebih baik daripada membangun seribu mesjid Jami.”
Dan seperti hadist maudhu, yang berbunyi:
مَنْ قَالَ لا اِلَهَ اِلا اللهُ خَلَقَ اللهُ مِنْ تِلْكَ الْكَلِمَةِ طَائِرًا لَهُ سَبْعُوْنَ اَلْفِ لِسَانٍ لِكُلِّ لِسَانٍ سَبْعُوْنَ اَلْفِ لُغَةٍ يَسْتَغْفِرُوْنَ لَهُ
“Barang siapa mengucapkan tahlil (la ilaha illallah) maka Allah menciptakan dari kalimat itu seekor burung yang mempunyai 70.000 lisan, dan setiap lisan mempunyai 70.000 bahasa yang dapat memintakan ampun kepadanya.”
Kalau ketidakfasihan itu, hanya terletak pada redaksinya saja, sedang isinya tidak kacau, menurut pandapat Ibnu Hajar, tidak dapat dipastikan sebagai hadist maudhu, sebab ada kemungkinan bahwa rawi hanya meriwayatkan maknanya saja, sedang redaksinya yang ia susun sendiri kurang fasih.

Shalahuddin Maqbul Ahmad (1994:297) menjelaskan bawha telah banyak beredar dikalangan umat Islam beberapa buku yang berisikan hadits-hadits dha’if dan maudhu, khabar-khabar palsu dan syathahat (ucapan yang keluar ketika estase) yang merusak keindahan Islam.

2.    Upaya-Upaya Para Ulama Tentang Keberadaannya Hadits Maudhu
Menurut Fathul Rahman (1974:181) menerangkan bahwa usaha-usaha para ulama dalam memelihara sunnah dan membersihkannya dari pemalsuan hadist, ialah:
a.         Mengisnadkan hadist
Para sahabat di awal-awal Islam, yakni sejak dari masa Rasulullah saw. Masih hidup sampai dengan timbulnya fitnah pembunhan Khalifah ‘Utsman bin Affan r.a., saling mempercayai satu sama lain. Para tabi’in tidak ragu-ragu menerima berita dari sahabat tentang hadist Rasulullah saw. Akan tetapi setelah terjadi fitnah dan kaum muslimin sudah mulai berpecah-belah dalam beberapa partai dan golongan dan mulai bertebaran pemalsan hadist-hadist Rasulullah, maka para sahabat dan tabi’in berhati-hati sekali dalam menerima hadist dari para rawinya.
Mulailah mereka meminta sanad kepada mereka yang menyampaikan hadist dan akhirnya menetapkan sanad suatu hadist. Sebab sanad bagi hadist itu adalah bagaikan nasab bagi seseorang.
Muhammad bin Sirin (seorang tabi’in yang lahir tahun 33 H., meninggal tahun 110 H.) menceritakan: “bahwa para sahabat semula dalam menerima hadist tidak selalu menanyakan sanadnya. Akan tetapi setelah terjadi fitnah, mereka pada meminta untk disebutkan sanadnya. Kemudian setelah disebutkan sanadnya, ditelitinya, kalau sanad itu terdiri dari ahli sunnah, diambilnya dan kalau sanad itu terdiri dari ahli bid’ah, ditolaknya.”
b.        Meningkatkan perlawatan mencari hadist
Mereka pada meningkatkan perlawatan mencari hadist dari satu kota ke kota untuk menemui para sahabat yang meriwayatkan hadist. Sejak itu para penuntut hadist hanya mendengar dari para sahabat saja. Jika ia mendapatkan hadist dari selain sahabat, dengan segera mereka mencari sahabat Raslllah saw. untuk memperkuatnya.
Abu ‘Aliyah mengatakan bahwa ia tidak rela kalau mendengar hadist dari sahabat Rasulllah saw. yang berada di Bashrah, sekiranya ia tidak pergi ke Madinah untuk mendengarkan hadist tersebut dari para sahabat yang berda disana. Demikian juga para sahabat mengadakan perlawatan mencari hadist dari kawannya sahabat yang berada di luar daerahnya. Misalnya sahabat Ayyub menemui sahabat ‘Uqbah bin Amir di Mesir dan sahabat Jabir menemui sahabat Abdllah bin Anis untuk mencari suatu hadist.
c.         Mengambil tindakan kepada para pemalsu hadits
Dalam rangka berhati-hati untuk menerima riwayat, maka sebagian dari mereka, menumpas para pemals hadits, melarang mereka meriwayatkan kepada penguasa.
Amir As-Sya’by pernah bertemu dengan Abu Shalih, seorang mufassir. Lalu ditariknya telinga Abu Shalih dan dimarahinya. Bentaknya: “celaka kamu! Kenapa kamu menafsirkan Al-Quran padahal kamu tidak baik membacanya?”
Murrah Al-hamdany pernah mendengar sebuah hadits dari Al-harits Al-a’war, pendukung golongan Syiah yang banyak membuat hadits-hadits maudhu, lalu disuruhnya ia jongkok dimuka pintu dan kemudian dibunuhnya.
d.        Menjelaskan tingkah laku rawi-rawinya
Para sahabat, tabi’in dan tabi’it-tabi’in mempelajari biografi para rawi, tingkah lakunya, kelahirannya dan kematiannya, keadilannya, daya ingatannya, dan kemampuan menghapalnya, untuk membedakan hadits-hadits yang shahih dan yang palsu. Jika terdapat sipat-sipat yang tercela, mereka beritahukan kepada orang umum.mereka mengkritik atau memuji identitas seorang rawi hanya semata-mata takut kepada allah swt. Mereka mengambil hadits dari seorang rawi, bukan karena takut terhadap rawi tersebut atau karena belaskasihan. Untuk kepentingan itu, mereka lalu membuat ketentuan-ketentuan untuk menetapkan sipat-sipat rawi yang dapat dan tidak dapat diambil, ditulis atau diriwayatkan haditsnya.
Para rawi yang tidak boleh diambil haditsnya, ialah:(1) orang yang mendustakan rasululloh saw.,(2) orang yang berdusta dalam pembicaraan umum, biarpun tidak berdusta terhadap rosululloh saw., (3) ahli bid’ah, (4) orang zindiq, fasik, pelupa, dan orang yang tidak mengerti apa yang dia katakana.
Adapun para rawi yang ditanguhkan periwayatannya, ialah (1) orang yang diperselisihkan tentang jarh (cacat) dan ta’dil (keadilan)-nya, (2) orang yang banyak salahnya dari pada benarnya serta banyak berlawanan dengan periwayatan orang tsiqah, (3) orang yang banyak lupa, (4) pelupa karena lanjut usia, dan (5) orang yang kurang baik hapalannya.
e.         Membuat ketentuan-ketentuan umum tentang klasipikasi hadits
Mereka membuat ketentuan dan syarat-syarat bagi hadits shahih, hasan dan dha’if.
f.         Membuat ketentan-ketentuan untuk mengetahui ciri-ciri hadits maudhu
Mereka membuat ketentuan mengenai ciri-ciri hadits maudhu baik ciri-ciri yang terdapat pada sanad maupun pada matannya.
3.        Contoh-Contoh Hadist Maudu
Mudasir (2008:174) contoh-contoh hadis maudhu itu dapat terbukti dari perkataan Al-Mubarak yang mengatakan:
لِلرَّاِفضَةِ الدِّيْنُ لِاَهْلِ اْلحَدِيْثِ وَالْكَلَامُ وَالْخَيْلُ لِاَهْلِ الرَّأْيِ وَاْلكَذِبُ
Hammad Bin Salamah pernah meriwayatkan bahwa ada salah seorang tokoh Rafidah berkata , “Sekiranya kami pandang baik, secara kami jadikan hadits.” Imam Syafi’i juga pernah berkata, “Saya tidak melihat pemuas hawa nafsu yang melebihi sekte Rafidah dalam membuat hadits palsu.”
Dibawah ini adalah sebagaian dari contoh-contoh hadis palsu (maudhu), yang Insya Allah akan dijelaskan sebagai berikut:
1.                  Hadits palsu yang dibuat oleh kaum syiah dan mu’awiyah
Mudasir (2008:174) contoh hadits maudhu golongan syi’ah dan mu’awiyah, antara lain;
يَا عَلِى! إنَّ اللهَ غَفَرَ لَكَ وَلِذُرِّيَتِكَ وَلِوَالِدَيْكَ وَلِاَهْلِكَ وَلِشِيْعَتِكَ وَلِمُحِبِّي شِيْطِكَ
Golongan Mu’awiyah juga membuat hadits palsu. Berikut ini merupakan salah satu contohnya;
اَلامُنَاءُ ثَلَاثَةٌ اَنَا وَجِبِرْيلُ وَمُعَاوِيَةُ، اَنَْتَ مِنِّى يَا مُعَاوِيَةَ وَاَنَا مِنْكَ.
Sedangkan golongan khawarij tidak pernah membuat hadits palsu.
Kedua hadits maudhu itu mempertentangkan masalah pembelaan dan pencelaan antara satu kelompok kepada kelompok yang lainnya yang motifnya adalah kepentingan politik. Ini terjadi antara golongan Ali dan Muawiyah.
2.           Hadits maudhu kaum zindiq
 Menurut Mudasir (2008:175) Hammad bin Zaid mengatakan, “hadits yang dibuat kaum zindiq ini berjumlah 12.000 hadits”. Salah satu contohnya adalah:
النَّظْرُ اِلَى الْوَجْهِ الْجَمِيْلِ صَدَقَةُ
“Melihat wajah cantik termasuk shadaqah.”
            Hadits ini merupakan salah satu usaha orang-orang kafir (kaum zindik) untuk memfitnah dan menipu orang-orang islam supaya terjebak perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syariat islam itu sendiri. Sehingga mereka menyatakan bahwa melihat wanita cantik itu shadaqah, padahal jika dilihat dari kaca mata agama kita itu merupakan suatu perbuatan dosa yang harus dijauhi, karena dapat menimbulkan fitnah yang nyata.
3.                  Hadits maudhu kaum fanatisme
Menurut Mudasir (2008:175) contohnya golongan Ash-Syu’ubiyah yang fanatik terhadap bangsa Persi mmengatakan,”Apabila Allah murka, Dia menurunkan wahyu dengan bahasa Arab dan apabila senang, Dia menurunkan dalam bahasa Persi.” Sebaliknya, orang Arab yang fanatik terhadap bahasa Persi mengatakan,” Apabila Allah murka, Dia menurunkan wahyu dengan bahasa Persia dan apabila senang, Dia menurunkannya dengan bahasa Arab.” Golongan yang fanatik kepada madzhab Abu Hanifah pernah membuat hadits palsu,”Dikemudian hari akan ada seseorang umatku yang bernama Abu Hanifah bin Nu’man, ia adalah nikmat membuat akhir bagi umatku.” Golongan yang fanatik menentang Imam Syafi’i membuat hadits palsu, seperti “ dikemudian hari akan ada seorang umatku Muhammad bin Idris. Ia akan lebih menimbulkan mudarat kepada umat daripada iblis.”
Segala hal yang sudah menjadi pegangan selalu dijadikan tolak ukur dan mengaggap apabila ada orang lain yang bersebrangan selalu dijadikan musuh baginya. Menurut kami, boleh saja kita berbeda paham dan golongan kemudian kita memegang salah satunya untuk dijadikan pedoman, tetapi kita tidak boleh fanatik sengga terjadi permusuhan dikalangan umat islam sendiri.
4.                  Hadits maudhu kisah dan nasihat bagi kaum awam
Menurut Mudasir (2008:176-177) kelompok yang melakukan pemalsuan hadits ini bertujuan umtuk memperoleh simpati dari pendengarnya sehingga mereka kagum melihat kemampuannya. Hadits yang mereka katakan terlalu berlebih-lebihan. Contoh dapat dilihat pada hadits berikut:
مَنْ قَالَ لااِلَهَ اِلا اللهُ مِنْ كُلِّ كَلِمَةٍ طَائِرًا مَنْقَارُهُ مِنْ ذَهَبٍ وَرِيْشُهُ مِنْ مَرْجُانٍ
Bahkan diantara mereka ada yang menafsirkan ayat berikut ini:
عَسَى اَنّ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُوْدًا
Dengan artinya: “Nabi duduk bersampingan dengan Alloh diatas arsy-Nya.” Al-hadits dikemukakan oleh para penyebar kisah, dengan ungkapan:
مَا اَفْسَدَ عَلَى النَّاسِ حَدِيْثُهُمْ اِلا اْلقِصَاصُ وَقَالَ اَيْضًا : مَا اَمَاتَ اْلعِلْمُ اِلا اْلقِصَاصُ
Diantara hadits-hadts palsu lain, adalah:
a)        “Siapa yang mengangkat kefua tangannya dalam salat, maka shalatnya tidak sah.”
b)        “Jibril menjadi imamku dalam solat di ka’bah, ia (jibril) membaca basmalah dengan menyaring.”
c)         “Siapa yang mengatakan Al-Quran makhluk, niscaya ia telah kufur kepada Allah swt.” dan sebagainya.
Banyak di antara ulama yang membuat hadits palsu dengan asumsi bahwa uasahnya itu merupakan upaya mendekatkan diri kepada allah swt. dan menjungjung tinggi agama-Nya. Mereka mengatakn, “Kami berdosa semata-mata untuk menjungjung tinggi nama Rasulullah saw. dan bukan sebaliknya.” Nuh Bin Abi Maryam telah membuat hadits berkenaan dengan fadilah membaca surat-surat tertentu dalam Al-Quran.
Ghulam Al-khalil (dikenal ahli Zuhud) membuat hadits tentang keutamaan wirid dengan maksud memperhalus qalbu manusia. Dalam kitab tafsir Ats-tsalabi, Zamakhsyari, dan Baidawi terhadap banyak hadits palsu.begitu juga dalam kitab Ihya Ulum Ad-din.
5.                  Hadits maudhu yang berisi tentang menjilat penguasa
Menurut Mudasir (2008:177) Giyas bin Ibrahim merupakan tokoh yang banyak ditulis dalam kitab hadits sebagai pemalsu hadits tentang “perlombaan”. Matan aslinya berbunyi:
لاسَبَقَ اِلا فِىْ نَصْلٍ اَوْ خُفٍ
Kemudian ia menambahnya dengan kata اَوْ جُنَاحٌ  diakhir hadits agar diberi hadiah atau mendapat simpatik dari khalifah Al-Mahdy.
Contoh hadits maudhu ini menjelaskan ketamakan seseorang kepada harta, sehingga membuat hadits palsu demi untuk meraya dan mendapatkannya.
4.        Tokoh-Tokoh yang Membuat Hadits Maudhu
Menurut Mudasir (2008:177-178) mengatakan bahwa diantara tokoh-tokoh yang membuat hadits maudhu antara lain sebagai berikut:
1.        Ghulam Al-khalil (dikenal ahli zuhud)
Dia dikenal dalam membuat hadits tentang keutamaan wirid dengan maksud memperhalus kalbu manusia. Dalam kitab tafsir Ats-Tsalabi, Zamakhsyari, dan Baydawi terdafat banyak hadits palsu. Begitu juga dalam kitab Ihya Ulum Ad-Din.
Bayak diantara para ulama yang memotivasi umat untuk beribadah dengan menggunakan hadits maudhu.
Menurut situs http://www.ikhwan-interaktif.com/islam, ungkapan “hubbul wathon minal iman” memang sering dianggap hadits Nabi SAW oleh para tokoh [nasionalis], mubaligh, dan juga da`i yang kurang mendalami hadits dan ilmu hadits. Tujuannya adalah untuk menancapkan paham nasionalisme dan patriotisme dengan dalil-dalil agama agar lebih mantap diyakini umat Islam.
Namun sayang, sebenarnya ungkapan “hubbul wathon minal iman” adalah hadits palsu (maudhu’). Dengan kata lain, ia bukanlah hadits. Demikianlah menurut para ulama ahli hadits yang terpercaya, sebagaimana akan diterangkan kemudian.
Maka dari itu, saya peringatkan kepada seluruh kaum muslimin, agar tidak mengatakan “hubbul wathon minal iman” sebagai hadits Nabi SAW, sebab Nabi SAW faktanya memang tidak pernah mengatakannya. Menisbatkan ungkapan itu kepada Nabi SAW adalah sebuah kedustaan yang nyata atas nama Nabi SAW dan merupakan dosa besar di sisi Allah SWT. Nabi SAW bersabda :
“Barangsiapa yang berdusta atasku dengan sengaja, hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka.” (Hadits Mutawatir).
Terlebih lagi Islam memang tidak pernah mengenal paham nasionalisme atau patriotisme yang kafir itu, kecuali setelah adanya Perang Pemikiran (al-ghazwul fikri) yang dilancarkan kaum penjajah. Kedua paham sesat ini terbukti telah memecah-belah kaum muslimin seluruh dunia menjadi terkotak-kotak dalam wadah puluhan negara bangsa (nation-state) yang sempit, mencekik, dan membelenggu.
Maka, kaum muslimin yang terpasung itu wajib membebaskan diri dari kerangkeng-kerangkeng palsu bernama negara-negara bangsa itu. Kaum muslimin pun wajib bersatu di bawah kepemimpinan seorang Imam (Khalifah) yang akan mempersatukan kaum
Mereka yang mendalami hadits, walaupun belum terlalu mendalam dan luas, akan dengan mudah mengetahui kepalsuan hadits tersebut.
2.        Giyats Ibrahim
Dia merupakan tokoh yang banyak ditulis dalam kitab hadits sebagai pemalsu hadits tentang “perlombaan”. Matan aslinya berbunyi:
لاسَبَقَ اِلا فِىْ نَصْلٍ اَوْ خُفٍ
Kemudian ia menambahnya dengan kata اَوْ جُنَاحٌ  diakhir hadits agar diberi hadiah atau mendapat simpatik dari khalifah Al-Mahdy. Setelah mendengar hadiah tersebut, Al-Mahdi memberikan hadian sepuluh dirham, namun ketika Giyats hendak pergi, Al-Mahdi menegur seraya berkata, “ aku yakin itu sebenarnya merupakan dustaatas nama Rasulullah saw.” Menyadari hal itu, Khalifah memerintahkan untuk menyembelih merpatinya.
5.        Kitab-Kitab hadits Maudhu
Menurut situs http://www.ikhwan-interaktif.com/islam, kitab-kitab yang secara khusus menjelaskan hadits-hadits dhaif dan palsu, misalnya :
1. Kitab Tahdzirul Muslimin min al-Ahadits a-Maudhu’ah ‘Ala Sayyid al-Mursalin karya Syaikh Muhammad bin al-Basyir bin Zhafir al-Azhari asy-Syafi’i (w. 1328 H) (Beirut : Darul Kutub al-Ilmiyah, 1999), hal. 109; dan
2. Kitab Bukan Sabda Nabi! (Laysa min Qaul an-nabiy SAW) karya Muhammad Fuad Syakir, diterjemahkan oleh Ahmad Sunarto, (Semarang : Pustaka Zaman, 2005), hal. 226.
Kitab-kitab itu mudah dijangkau dan dipelajari oleh para pemula dalam ilmu hadits di Indonesia, sebelum menelaah kitab-kitab khusus lainnya tentang hadits-hadits palsu, seperti :
1. Kitab Al-Maudhu’at karya Ibnul Jauzi (w. 597 H);
2. Kitab Al-Ala`i al-Mashnu’ah fi Al-Ahadits Al-Maudhu’ah karya Imam as-Suyuthi (w. 911 H);
3. Kitab Tanzih Asy-Syari’ah al-Marfu`ah ‘an Al-Ahadits Asy-Syani’ah Al-Maudhu`ah karya Ibnu ‘Arraq Al-Kanani (Lihat Mahmud Thahhan, Taysir Musthalah al-Hadits, hal. 93).
Berikut akan saya jelaskan penilaian para ulama hadits yang menjelaskan kepalsuan hadits “hubbul wathon minal iman”.
Dalam kitab Tahdzirul Muslimin karya Syaikh al-Azhari asy-Syafi’i hal. 109 tersebut diterangkan, bahwa hadits “hubbul wathon minal iman” adalah maudhu` (palsu). Demikianlah penilaian Imam as-Sakhawi dan Imam ash-Shaghani.
Imam as-Sakhawi (w. 902 H) menerangkan kepalsuannya dalam kitabnya al-Maqashid al-Hasanah fi Bayani Katsirin min al-Ahadits al-Musytaharah ‘ala Alsinah, halaman 115.
Sementara Imam ash-Shaghani (w. 650 H) menerangkan kepalsuannya dalam kitabnya Al-Maudhu’at, halaman 8.
Penilaian palsunya hadits tersebut juga dapat dirujuk pada referensi-referensi (al-maraji’) lainnya sebagai berikut :
1. Kasyful Al-Khafa` wa Muziilu al-Ilbas, karya Imam Al-‘Ajluni (w. 1162 H), Juz I hal. 423;
2. Ad-Durar Al-Muntatsirah fi al-Ahadits al-Masyhurah, karya Imam Suyuthi (w. 911 H), hal. 74;
3. At-Tadzkirah fi al-Ahadits al-Musytaharah, karya Imam Az-Zarkasyi (w. 794 H), hal. 11.
(Lihat Syaikh al-Azhari asy-Syafi’i, Tahdzirul Muslimin min al-Ahadits a-Maudhu’ah ‘Ala Sayyid al-Mursalin, hal. 109)
Menurut Abu Al Jauzaa dalam artikel yang dimuat dalam http://jacksite.wordpress.com/2007/07/04/ilmu-hadits-definisi-hadits-maudlu/ menerangkan bahwa ada beberapa karya-karya yang memuat hadits maudhu, antara lain:
a.         Al-Maudlu’aat, karangan Ibnul-Jauzi - beliau paling awal menuliskan ilmu ini.
b.        Al-La’ali Al-Mashnu’ah fil-Ahaadits Al-Maudluu’ah, karya As-Suyuthi - merupakan ringkasan kitab Ibnul-Jauzi dengan beberapa tambahan.
c.         Tanzihusy-Syar’iyyah Al-Marfu’ah ‘anil-Ahaadits Asy-Syani’ah Al-Maudluu’ah, karya Ibnu ‘Iraq Al-Kittani - yang merupakan ringkasan dari kedua kitab tersebut di atas.
d.        Silsillah  Al-Ahaadits Adl-Dla’iifah wal-Maudluu’ah, karya Al-Albani
Para ulama sepakat bahwasannya diharamkan meriwayatkan hadits maudhu dari orang yang mengetahui kepalsuannya dalam bentuk apapun, kecuali disertai penjelasan akan kemaudhuannya, berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Barangsiapa yang menceritakan hadits dariku sedangkan dia mengetahui bahwa itu dusta, maka dia termasuk para pendusta.” (HR. Muslim).














BAB III
KESIMPULAN

Dari uraian-uraian yang telah dikemukakan, tim penulis dapat menyimpulkan makalah yang berjudul “Hadits Maudhu” ini, yaitu sebagai berikut:
1.                  Pengertian hadits maudhu mempunyai bermacam-macam pendapat, walaupun demikian dapat ditarik kesimpulah bahwa hadits maudhu adalah hadis palsu yang dibuat oleh seseorang dan disandarkan kepada nabi Muhammad saw. Adapun latar belakangnya hadits maudhu tersebut hakikatnya adalah pembelaan atau pembencian terhadap suatu golongan tertentu.
2.                  Hadits maudhu dapat diidentifikasi keberadaannya dengan mengetahuinya berdasarkan metode-metode tertentu, misalnya mengetahui ciri-ciri yang terdapat pada sanad dan matannya.
3.                  Menyikapi terhadap adanya hadits maudhu sangat beragam, ada sekelompok orang yang menyikapinya dengan menerima tanpa pertimbangan tertentu, ada pula yang menerimanya dengan berbagai catatan tertentu, bahkan ada pula yang tidak menerimanya sama sekali.






DAFTAR FUSTAKA

Ahmad, Maqbul & Shalahuddin. 2002. Bahaya Mengingkari Sunah. Pustaka Azzam: Jakarta.
Ahmad, Muhammad. & Mudzakir. 2000. Ulumul Hadits. Pustaka Setia: Bandung.
al Jauzaa, Abu. 2007. Ilmu Hadits. http://jacksite.wordpress.com.
Anonimous. 2000. Al-‘Aliyy Al-Qur’an dan Terjemahnya. CV Penerbit Diponegoro: Bandung.
Hakim, Atang ABD, dkk. 2008. Metodologi Studi Islam. PT Remaja Rosdakarya: Bandung.
Khon, Majid, dkk. 2005. Ulumul Hadits. Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Sunan Hidayatulah: Jakarta.
Madjid, Nurcholish. 1984. Khazanah Intelektual Islam. Bulan Bintang: Jakarta.
Mudasir. 2007. Ilmu Hadits. Pustska Setia: Bandung.
Rahman, Fathul. 1970. Ikhtisar Mushthalahu Al- Hadits. PT Al-ma’rif: Djogyakarta.
Sodikin, Abuy & Badruzaman. 2000. Metodologi Studi Islam. Tunas Nusantara. Bandung.
Soetari, Endang. 2005. Ilmu Hadits. Mimbar Pustaka: Bandung.
Suparta, Munzier. 2006. Ilmu Hadits. Raya Grafindo: Jakarta.




Alhamdulillah, puji dan syukur kami panjatkan ke khadirat Allah swt. shalawat dan salam kami curah limpahkan kepada nabi Muhammad saw. kepada para keluarganya, tabi’in, tabi’at, dan mudah-mudahan sampai kepada kita sebagai umatnya. Amin Allah Ya Robil Alamin.
Makalah yang berjdul “hadits maudhu” ini diajukan untuk revisi atau perbaikan dari makalah sebelumnya.  Kami mengharapkan dengan adanya penyusunan makalah ini dapat memperkaya khasanah keilmuan kami pada khususnya, dan ummnya bagi semua yang membacanya.
Walaupun kami berusaha menyusun makalah ini dengan semaksimal mungkin, tetapi seperti pribahasa mengatakan bahwa “tiada gading yang tak retak,” artinya kami sangat menyadari dalam penyusunan dan penulisan makalah ini banyak kekurangan dan kesalahannya. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun selalu kami harapkan, khususnya dari Bapak Maslani sebagai dosen mata kuliah ini, dan umumnya bagi semua yang membaca makalah ini.

Bandung, Desember 2008

Penulis




i
 
 

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR ISI..................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
  1. Latar Beakang Masalah........................................................................... 1
  2. Rumusan Masalah................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
  1. Pengertian Hadits Maudhu..................................................................... 2
  2. Sebab Kemunculan Hadits Maudhu....................................................... 3
  3. Realitas Hadits Maudhu.......................................................................... 6
BAB III KESIMPULAN.................................................................................. 23  
DAFTAR FUSTAKA....................................................................................... 24





ii
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar